Yogyakarta (ANTARA News) - Pusat Krisis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia menilai tingkat stress masyarakat korban gempa bumi Yogyakarta dan Jawa Tengah cukup rendah. "Saya cukup berbesar hati ketika mengunjungi mereka, tingkat stress mereka cukup rendah. Ini adalah suatu yang harus dipertahankan," kata Wakil Ketua Pusat Krisis Fakultas Psikologi UI, Dini P Daengsari, di Yogyakarta, Jumat. Psikolog yang juga pengajar tersebut mengatakan tingkat stress yang rendah itu sangat dipengaruhi kultur masyarakat Jawa yang "nerimo", pasrah dan beranggapan bahwa semua kejadian adalah kehendak Tuhan yang harus dijalani. Bencana gempa yang tidak diketahui akan berlangsung sampai kapan, ujarnya, sebenarnya menambah rasa stress warga setempat, namun warga terlihat cukup tenang menghadapi kehidupan sehari-hari dan seperti sudah terbiasa. Selain itu, tingkat gotong royong masyarakat yang semakin tinggi pasca bencana, ujarnya, cukup melegakan, di mana bapak-bapak bergabung bersama untuk bergiliran membangun rumah kembali dan ibu-ibu yang bekerja bersama di dapur umum. "Rasa solidaritas dan gotong-royong di antara mereka menguatkan jiwa mereka dari rasa sedih menjadi rasa bersemangat untuk bertahan hidup, meski saya mendengar setidaknya ada tiga kasus bunuh diri, yang saya kira itu juga merupakan hasil akumulasi dari peristiwa sebelumnya," katanya. Kesibukan, ujarnya, juga harus digiatkan bagi warga korban pasca gempa, sehingga bisa melupakan kesedihan dan keputus-asaannya, misalnya untuk anak-anak yang memasuki masa libur dibuatkan berbagai acara permainan atau dibuatkan taman belajar. Sumber daya psikolog di Yogyakarta, ujarnya, sudah cukup banyak seperti dari UGM atau Universitas Muhammadiyah, karena itu pihaknya hanya ingin menguatkan dan membantu apa yang kira-kira masih dibutuhkan warga Yogyakarta. Dibanding warga korban bencana gempa Yogyakarta-Jawa Tengah, tingkat stress warga korban bencana tsunami Aceh dinilainya jauh lebih tinggi. Menurut dia, tingkat stress yang sangat tinggi itu karena bencana tsunami Aceh sangat masif, menghancurkan ribuan desa tanpa bekas akibat tersapu tsunami, sehingga secara psikologis mereka selain kehilangan keluarga, kerabat, tetangga dan rumahnya, juga kehilangan desanya dan masyarakatnya. Ditambah lagi, sebelum bencana, masyarakat Aceh sudah banyak mengalami tekanan, termasuk tekanan politis, kata Dini, yang juga ikut menangani korban pasca bencana tsunami Aceh bersama pusat krisisnya. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006