Medan (ANTARA News) - Pemimpin Umum Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA, Asro Kamal Rokan mengatakan, pers Indonesia sebenarnya sudah sangat Islami yang ditandai dengan adanya ketentuan dalam kode etik jurnalistik yang mengharuskan penulisan dan penyiaran berita tidak berisi fitnah. "Namun masalahnya wartawan sering melanggar kode etik itu sehingga nilai Islami dalam pemberitaan pers menjadi kurang atau kabur," kata Asro, di Medan, Sabtu. Asro menyatakan itu ketika menyampaikan makalah berjudul "Media Massa dan Pengaruhnya Terhadap Proses Pendidikan Nilai-Nilai Moral yang Islami" pada Seminar Nasional Pendidikan yang digelar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Islam Sumatera Utara (UISU). Ia menjelaskan, kode etik jurnalistik antara lain mengharuskan dalam penulisan berita, wartawan harus berdasarkan fakta. Bahkan, katanya ada penegasan penerbitan pers tidak boleh beriktikad buruk. Asro yang juga mantan Pemimpin Redaksi Republika itu menambahkan, penegasan tentang tidak boleh beritikad buruk itu tentu terkait tidak diperlukannya lagi surat izin usaha penerbitan pers sehingga setiap warganegara bisa saja membuka usaha penerbitan media massa. Penerbitan media massa ini ada kalanya juga dimanfaatkan untuk kepentingan politik menghantam lawan atau saingan politiknya dengan mencari-cari kelemahan dari oknum lawannya, seperti adanya tuduhan perselingkuhan. Dalam membuat berita seperti ini, wartawan Indonesia harus lebih dahulu melakukan chek and richek atau konfirmasi dan tidak menyiarkan beritanya begitu saja, kerena ini dapat mengandung fitnah, serta dapat mencemarkan nama baik seseorang. Hal-hal yang seperti itu harus dihindari oleh wartawan, dan tindakan tersebut jelas suatu pelanggaran bagi Kode Etik Jurnalistik yang semestinya harus dipatuhi dan dihormati oleh insan Pers, ujarnya. Selain itu, katanya, pemberitaan bersifat sadis, cabul masih banyak kelihatan ditayangkan melalui media yang ada di tanah air, dan pemberitaan seperti ini juga ditonton anak-anak yang dapat berdampak buruk dan psikologis bagi perkembangan mereka. Apalagi, sejumlah siaran infotaimen juga menyiarkan isu perselingkuhan, perceraian kaum selibritis di tanah air, dan ini juga sering ditonton oleh anak-anak dibawah umur. Bisa saja, anak-anak tersebut menganggap kasus perceraian atau perselingkuhan yang terjadi itu, seolah-olah dibenarkan dan hal yang seperti ini biasa dilakukan para orang tua. Pemberitaan seperti itu, jelas tidak mengandung unsur pendidikan dan hiburan bagi anak-anak di bawah umur, melainkan justru akan merusak moral dan akhlak mereka selaku generasi muda harapan bangsa. Padahal, salah satu fungsi pers adalah sebagai kontrol sosial, hiburan dan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tambahnya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2006