Dharmasraya, Sumatera Barat (ANTARA) - Di depan halaman kios yang sedikit berbukit, terpajang aneka keripik ubi warna-warni, mulai warna kuning, hijau, merah, dan warna-warna ceria yang ternyata diramu oleh sesosok perempuan berusia senja.

Masyarakat Sumatera Barat menyebutnya keripik sanjai. Pada kartu nama yang terpasang di bungkus kerupuk, tertera sebuah merek, “Usaha Sanjai Amak Riski” yang artinya usaha sanjai Ibu Riski, buatan sosok perempuan berusia 58 tahun, Yurvanida, yang tinggal di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat.

Pada Senin (29/5) yang lalu, puncak peringatan Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) ke-27 diselenggarakan oleh Kementerian Sosial (Kemensos) RI di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, dengan rangkaian yang panjang. Salah satu  kegiatannya adalah pemberdayaan lanjut usia (lansia) melalui program Pahlawan Ekonomi Nusantara (PENA).

Yurvanida menjadi salah satu dari 11 penerima yang beruntung di Kabupaten Dharmasraya atas bantuan ini.  Kemensos memberikan suntikan dana khusus untuk Kabupaten Dharmasraya sebesar Rp 54.206.500.

Yurvanida memulai usahanya pada tahun 1991 dengan modal nekat bersama sang suami, Mardias (62). Saat itu, dirinya mengaku membuka usaha bekerja sama dengan orang yang tergerak untuk meminjamkan uang Rp 500.000 sebagai modal awal.

“Udah, bikin dulu, katanya, bikin taruh di sini. Nggak punya modal kataku kan. Terus dipinjaminya uang Rp 500.000 dulu,”  kata Yurvanida berkisah ketika ditemui di rumahnya yang terletak di pinggir Jalan Lintas Sumatera, Gunung Medan, Nagari Sitiung, Sumatera Barat pada Minggu (28/5).

Saat merintis usahanya, Yurvanida dan Mardias memutuskan untuk meminjam uang dari bank sebagai modal membeli “oto”, istilah Minang untuk menyebut mobil atau kendaraan.  Harapannya, Yurvanida dan Mardias dapat  lebih mudah mengangkut keripiknya.

Sebelum membangun usaha di rumahnya, dia mengontrak bersama suami di depan toko bangunan Fajar Utama, dan di sanalah dia akhirnya bertemu dengan orang baik yang mau membantunya untuk membeli rumah.

Akhirnya, pada tahun 1994 ia mulai tinggal di rumah yang dihuninya sekarang bersama satu orang putranya. Kedua anaknya yang lain sudah menikah, dan masih sering menengoknya.

Rumah yang saat ini ditinggalinya dibeli dengan harga Rp1.750.000. Saat pertama kali pindah,  di sekitaran rumahnya masih hutan dan belum ada penerangan seperti sekarang.

Dia yang masih  harus membayar hutang di bank setiap bulan, tinggal di tempat itu dengan kondisi yang seadanya. Namun, dia bersyukur karena tetangga dan orang-orang di sekitar mau membantunya, termasuk salah satu petugas dari Kemensos yang mau mendatanya sehingga terdaftar menjadi salah satu penerima bantuan.

Berkat dukungan itu,  dia akhirnya memiliki keteguhan dan semangat untuk tetap bekerja keras demi menghidupi ketiga anaknya, dimana yang bungsu, Riski, masih membutuhkan biaya untuk menyelesaikan kuliahnya. Yurvanida dan Mardias hanya mengandalkan usaha keripiknya untuk menopang hidup keluarga. 

Meski terkadang usahanya sepi, tetapi raut muka Yurvanida tak pernah terlihat sedih. Dia tetap bercerita dengan lancar tentang usahanya yang dulu sempat berjaya ketika belum memiliki pesaing.

Dalam sehari, di sekitar tahun 1994-an, dia bisa membuat sampai 10 karung keripik ubi. Sekarang, dari 600 kilogram yang didapatkan, belum ada yang diambil ke kedai-kedai karena sepinya pemesan dan peminat.

Selain karena sepi pemesan, ia juga mengaku pinggangnya sudah tak sekuat dulu, sehingga produksi pun terbatas. Tapi, bantuan dari Kemensos membuatnya kuat dan terus berusaha demi menghidupi keluarga dan membangun dapurnya yang sudah hampir roboh. Ia tak ingin mengecewakan kepercayaan orang yang sudah memberikan amanah untuknya.

Dengan bekal 600 kg ubi, plastik, baskom, kuali, dan alat untuk mengemas produk bantuan dari Kemensos, dia yakin usahanya akan hidup kembali dan berjaya seperti sebelumnya.

Berkat bantuan dari Kemensos, Yurvanida pun bisa memiliki modal awal untuk melunasi hutangnya, membangun kembali dapur yang hampir roboh, dan terus memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan bantuan sang suami yang juga sambil bekerja sebagai buruh pengambil getah karet.

Bagi para pelancong yang kebetulan sedang mampir di Sumatera Barat, usaha Sanjai Amak Riski milik Yurvanida  terletak di sepanjang jalan Lintas Sumatera, tepatnya di Gunung Medan. Kerupuk yang dibuatnya dibanderol dengan harga yang tak mahal, cukup Rp 8-12 ribu saja, dengan empat jenis rasa yakni original, balado cabai hijau, balado cabai merah, dan jeruk purut yang khas.

Meski saat memasak ia pernah terjatuh dan tulangnya retak, Yurvanida tetap bangkit dan memberi bukti bahwa usia tak pernah menghalangi seseorang untuk terus bekerja dan berkarya.

Memang tak mudah untuk menjual dan memasarkan kerupuk sinjainya di tengah persaingan yang semakin ketat. Tetapi Yurvanida yakin, orang-orang dan pelanggan lama masih mau membeli keripiknya dan melariskan dagangannya kembali.

Asa dan semangat Yurvanida untuk tetap berkarya, produktif di usia senja inilah yang ingin ditularkannya kepada anak-anak muda. Ia berharap anak-anaknya dapat membantu meneruskan usaha yang telah dirintisnya sejak lama. Pesannya,  anak-anak muda di seluruh Indonesia untuk tetap semangat bekerja selagi masih bertenaga.

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Slamet Hadi Purnomo
COPYRIGHT © ANTARA 2023