Jakarta (ANTARA News) - Pakar hukum Tata Negara Harun Al Rasyid menilai proses recalling (menarik kembali) anggota DPR di parlemen tidak sesuai dan sejalan dengan demokrasi. Pemanggilan (penarikan) kembali anggota DPR oleh partai politiknya menurut Harun merupakan alat untuk mengekang anggota parlemen dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. "Yang paling penting adalah kepastian hukum. Ketika ia dipilih untuk masa jabatan lima tahun ya harus tetap lima tahun," kata Harun saat memberikan keterangan sebagai ahli dalam persidangan uji materiil UU No.22 tahun 2003 terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi, Selasa. Ia menambahkan dalam undang-undang tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPD tersebut tidak disebutkan secara eksplisit adanya recall, yang ada hanyalah usulan untuk penggantian. "Saya tidak setuju dengan hal recall karena secara ekplisit tidak ada, yang ada hanyalah kata-kata `mengusulkan`," katanya. Uji materiil UU No.22 tahun 2003 terhadap UUD 1945 diajukan oleh Djoko Edhi Soetjipto Abdurrahman anggota DPR Komisi III dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN). Ia menganggap Pasal 85 ayat (1) huruf c yang menyatakan "anggota DPR berhenti antarwaktu karena : c. diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan". Djoko Edhi menyatakan kalimat tersebut menimbulkan multi interpretasi pada keseluruhan kalimat dalam pasal tersebut yang melahirkan diskriminasi dan kemudian mengabaikan hak asasi manusia. Atas dasar tersebut, pemohon menyatakan Pasal 85 ayat (1) huruf c UU No.22 tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D, Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28J UUD 1945. Selain menghadirkan ahli hukum tata negara Harun Al Rasyid, persidangan itu juga mendengarkan keterangan ahli hukum tata negara Mahfud MD, Menteri Hukum dan Ham Hamid Awaluddin serta anggota DPR Nursyahbani Katjasungkana. Dalam keterangannya Mahfud MD menjelaskan bahwa recall dapat dibenarkan mengingat hal itu berfungsi sebagai alat kontrol bagi anggota DPR dan DPRD agar tidak melakukan perbuatan yang mencemarkan kehormatan parlemen. Mengenai kasus uji materiil itu sendiri, Mahfud mengatakan dalam kapasitasnya sebagai ahli ia menilai tidak ada satu pun hak konstitusi pemohon yang terlanggar. Dijelaskannya juga proses recall seorang anggota DPR baru efektif berlaku setelah adanya surat keputusan dari Presiden. Selama belum ada maka seseorang tetap memiliki kewajiban dan hak sebagai anggota DPR. Sementara Menhum dan Ham Hamid Awaluddin menyatakan sesuai dengan UU tersebut anggota DPR memang harus tunduk juga terhadap anggaran dasar dan rumah tangga partai karena dalam proses pemilihan umum mereka dipilih setelah dicalonkan oleh partai politik. "Bahkan setelah mendengar keterangan dari ahli maka saya berkeyakinan seharusnya pemohon mengajukan permasalahan pemberhentian ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)," kata Hamid Awaluddin. Persidangan yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie tersebut akan dilanjutkan dengan agenda pembacaan putusan setelah dalam persidangan yang berlangsung Selasa (13/6) merasa telah cukup mendapatkan bahan pertimbangan dari ahli, perwakilan pemerintah dan DPR yang dihadirkan.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006