Jakarta (ANTARA News) - Perum Perhutani menargetkan pendapatan perusahaan pada 2007 naik menjadi Rp2,6 triliun dari tahun ini sebesar Rp2 triliun, meskipun pada periode yang sama menurunkan tebangan. "Kenaikan pendapatan diharapkan berlanjut, sehingga pada 2009 mencapai Rp2,6 triliun. Kenaikan pendapatan ini akan dipacu dari penetrasi pasar, peningkatan harga jual produk non kayu, dan peningkatan nilai tambah dari produk kayu Jati," kata Dirut perum Perhutani, Transtoto Handadhari pada rapat dengar pendapat dengan Komisi IV di Jakarta, Selasa. Peningkatan harga jual produk kayu dan non kayu menjadi kunci dari peningkatan pendapatan perusahaan, meski volume tebangan akan diturunkan, katanya. Saat ini. 8-0 persen pendapatan BUMN di lingkungan kehutanan itu masih dipasok dari bisnis kayu. Menurut Transtoto, upaya meningkatkan nilai tambah antara lain dilaksanakan dengan memproses bahan baku kayu Jati menjadi produk jadi untuk mendongkrak harga jual produk Perhutani. Selain itu, setiap produk diharapkan memiliki sentuhan mode dan disain yang diminati pasar untuk mendongkrak harga jual. Dikatakannya, direksi Perhutani juga mampu meningkatkan harga jual produk gondorukem maupun lak sampai dua kali lipat, sehingga mampu mendongkrak pendapatan dari produk non kayu. "Produk lak kini dihargai sekitar Rp31.000 per kg, sedang harga Gondorukem mampu mencapai 950-1100 dolar AS per ton." Transtoto mengatakan peningkatan pendapatan perusahaan akan membuat penebangan menjadi semakin besar. "Kita justru berencana menurunkan Jatah Produksi Tebangan (JPT) yang kini mencapai 973.000 meter kubik menjadi sekitar 950.000 meter kubik." Luas areal hutan Jati yang setiap tahun dipanen hanya sekitar 4000 hektar, sedang penanaman tegakan per tahun bisa mencapai 110.000 hektar, kata Transtoto. Dari total areal Perhutani seluas 2,4 juta hektar, sekitar 1,8 juta hektar di antaranya merupakan hutan produksi. Dikatakannya, Perum Perhutani selama ini hanya menebangan tegakan jati yang umurnya rata-rata 57 tahun. Karena itu, keinginan berbagai pihak hutan Jawa dimoratorium total tidak layak dilakukan. "Moratorium selektif boleh saja dilaksanakan, tetapi larangan penebangan itu hanya dilakukan di daerah yang rawan terjadi bencana."(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006