Jakarta (ANTARA) -
Anggota DPR RI Fadli Zon mengapresiasi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak mengabulkan permohonan perubahan sistem pemilu dari sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup.
 
"Ini merupakan berita gembira bagi demokrasi kita terutama membuka ruang partisipasi publik dalam pemilu untuk dipilih dan memilih," ujar Fadli dalam keterangan resminya di Jakarta, Kamis.
 
Menurut dia, ada beberapa alasan kenapa putusan MK terkait uji materi sistem pemilu ini pantas diapresiasi dan dipuji oleh publik. Pertama, putusan ini lahir ketika indeks kepercayaan publik terhadap MK untuk pertama kalinya dalam sejarah berada di bawah Mahkamah Agung (MA).
 
Padahal, sambung Fadli, MK dan juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)) merupakan dua lembaga yang lahir sesudah proses reformasi. Adapun kedua lembaga ini selalu merajai survei kepercayaan publik.
 
Namun, belakangan tingkat kepercayaan publik terhadap dua lembaga tadi terus merosot di bawah lembaga penegakan hukum lainnya.
 
"Itu sebabnya, di tengah melemahnya tingkat kepercayaan publik, putusan MK yang tetap konsisten menjadikan sistem pemilu sebagai ranah open legal policy patut diapresiasi," katanya.
 
Lalu, kedua, putusan MK ini mengukuhkan pandangan bahwa isu pilihan sistem pemilu, dalam hal ini proporsional terbuka ataupun tertutup, bukanlah termasuk isu konstitusional. Sebab, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tak pernah mengatur tentang sistem pemilu yang bersifat proporsional terbuka atau tertutup.

Baca juga: Puan: DPR siap laksanakan putusan MK soal sistem pemilu
 
Ia menjelaskan penentuan sistem pemilu merupakan isu teknis, bukan isu konstitusional. Hal ini merupakan ranahnya para pembentuk undang-undang, yaitu DPR dan pemerintah, bukan ranahnya MK untuk ikut menentukan.
 
Ketiga, ketika keputusan ini diambil, sebagian tahapan pemilu telah dimulai dan proses administrasi kepemiluan juga sudah berjalan. Apabila sistem pemilu diubah di tengah jalan, ini bisa menimbulkan kekacauan politik dan ketatanegaraan.
 
"Kita bersyukur hal itu tak sampai terjadi. Jika sampai terjadi kekisruhan, kita tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi ke depannya," ucap Fadli.
 
Di sisi lain, masyarakat perlu sama-sama menyadari bahwa sistem proporsional terbuka merupakan bagian dari hasil Reformasi yang dulu diperjuangkan. Untuk itu, sistem pemilu ini merupakan anak kandung reformasi.
 
"Setiap upaya untuk menarik sistem pemilu kembali ke sistem proporsional tertutup merupakan bentuk kemunduran terhadap reformasi dan demokrasi," jelas dia.
 
Sejak Pemilu 2004, sistem pemilu Indonesia secara umum memang sudah menganut sistem proporsional terbuka. Hanya saja teknis pelaksanaannya sejak Pemilu 2004 hingga Pemilu 2019 memang telah mengalami beberapa perubahan terkait metode dalam proses alokasi kursi.
 
Kendati demikian, seluruh perubahan metode tadi tetap berada dalam bingkai sistem pemilu proporsional terbuka. Fadli tidak membenarkan kalau ada yang mengatakan bahwa MK pernah mengubah sistem pemilu menjelang Pemilu 2009, sehingga tidak masalah untuk MK kembali mengubah sistem menjelang Pemilu 2024.

Baca juga: PKS nilai putusan MK soal pemilu bawa angin segar bagi demokrasi RI
 
"MK tak pernah mengubah sistem pemilu, karena sejak 2004 sistem pemilu kita telah menganut sistem proporsional terbuka," tuturnya.
 
Ia menegaskan pada uji materiil tahun 2008 silam, awalnya UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mengatur bahwa penentuan caleg terpilih adalah berdasarkan persyaratan pemenuhan perolehan suara 30 persen Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) atau kuota harga kursi.
 
Oleh MK, Pasal itu dibatalkan melalui Putusan Perkara No. 22-24/PUU-VI/2008 menjadi sepenuhnya berdasarkan suara terbanyak. Jadi, pada saat itu yang digugat ke MK adalah perubahan variabel penentuan caleg terpilih, bukan perubahan sistem pemilunya.
 
"Sekali lagi, kita semua pantas menyambut baik putusan MK yang tak mengabulkan gugatan perubahan sistem pemilu. Dengan putusan ini, kita berharap MK bisa meraih kembali kepercayaan publik yang kemarin sempat merosot dan tetap menjaga integritasnya sebagai salah satu lembaga simbol Reformasi dan penjaga konstitusi," pungkas Fadli.
 
Sebelumnya, Majelis hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan Para Pemohon pada sidang perkara gugatan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu), sehingga sistem pemilu proporsional terbuka tetap berlaku.
 
"Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman ketika membacakan putusan di gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta Pusat, Kamis.
 
Dalam persidangan perkara nomor 114/PUU-XX/2022, Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan bahwa para Pemohon mendalilkan penyelenggaraan pemilihan umum yang menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka telah mendistorsi peran partai politik.
 
Menurut Mahkamah, tuturnya melanjutkan, sesuai dengan ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang menempatkan partai politik sebagai peserta pemilihan umum anggota DPR/DPRD, dalam batas penalaran yang wajar, dalil para Pemohon adalah sesuatu yang berlebihan.

Baca juga: Pimpinan MPR nilai putusan MK soal sistem pemilu sesuai aspirasi
Baca juga: Anggota DPR apresiasi putusan MK

Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
Editor: Indra Gultom
COPYRIGHT © ANTARA 2023