Sydney/Singapura (ANTARA) - Para pembuat kesepakatan (dealmakers) Asia memperkirakan jeda kenaikan suku bunga secara global dan pemulihan ekonomi di China akan menghidupkan kembali aktivitas di pasar modal ekuitas kawasan, setelah volume pada paruh pertama tahun ini merosot ke level terendah dalam empat tahun.

Volume pasar modal ekuitas Asia Pasifik paruh pertama turun 16 persen menjadi 117,2 miliar dolar AS dari periode yang sama pada 2022, termasuk penurunan 34 persen dalam penawaran umum perdana (IPO) menjadi 34,3 miliar dolar AS, menurut data Refinitiv.

Aktivitas flatlining telah mendorong beberapa bank seperti Goldman Sachs untuk mulai merumahkan staf di hampir semua divisi investasi utama perbankan.

"Agar sentimen investor kembali untuk IPO, kita perlu melihat lingkungan suku bunga yang lebih stabil di AS, lebih banyak stimulus ekonomi dari China dan latar belakang geopolitik yang membaik," kata Cathy Zhang, kepala pasar modal ekuitas Asia Pasifik di Morgan Stanley.

Di tabel liga global, China sekarang memegang dua tempat teratas untuk IPO. Perusahaan yang tercatat di STAR Market Shanghai mengumpulkan 10,1 miliar dolar AS pada semester pertama, hampir dua kali lipat hasil di New York, sementara perusahaan yang memulai debutnya di pasar ChiNext Shenzhen mengumpulkan 8,1 miliar dolar AS.

Hong Kong, yang secara tradisional dikenal sebagai tempat listing global utama, mengumpulkan hanya 1,9 miliar dolar AS pada semester pertama, sementara Indonesia muncul sebagai titik terang yang langka di kawasan ini dengan penjualan saham baru sebesar 1,6 miliar dolar AS.

Terlepas dari penurunan yang sedang berlangsung, para bankir bertaruh pada stabilisasi suku bunga secara global dan pemulihan ekonomi China didorong oleh langkah-langkah stimulus untuk meningkatkan aktivitas kesepakatan dalam enam bulan ke depan.

"Kami berharap untuk melihat lebih banyak aktivitas IPO di paruh kedua dan mulai melihat beberapa green shoot (tanda-tanda pemuihan ekonomi) di AS dan Eropa," kata Udhay Furtado, co-head of Asia equity capital market Citigroup.

"Kebijakan moneter adalah penggerak (makro) nomor satu (untuk mendukung kondisi penerbitan). Ini mempengaruhi sentimen, mempengaruhi volatilitas dan valuasi. Secara agregat itulah faktor terbesar."

Saat para bankir memindai daftar kandidat IPO mereka untuk paruh kedua, transaksi yang lebih besar di wilayah tersebut disukai untuk membantu memulai aktivitas.

"IPO pertama yang akan menarik perhatian investor global yang luas adalah perusahaan besar yang memiliki skala laba yang kuat, dan akan memiliki purna jual yang likuid," kata Sunil Dhupelia, co-head of Asia equity capital JPMorgan pasar di luar Jepang, menambahkan sektor konsumen, energi bersih, dan yang terkait dengan kesepakatan pembukaan kembali China akan menjadi fokus utama.

Dalam hal potensi kesepakatan besar, JD.com China telah mengajukan untuk memisahkan unit JD Industrial dan JD Property, masing-masing untuk mengumpulkan 1 miliar dolar AS dalam kesepakatan Hong Kong tahun ini.

Demikian pula, Alibaba Group mengatakan akan memisahkan enam unit bisnis yang juga akan melakukan IPO atau penggalangan modal untuk mendanai pertumbuhan di masa depan.

Serbuan IPO di Indonesia senilai 1,64 miliar dolar AS membuat pasar tersebut menggandakan pangsanya dalam volume pencatatan baru global pada semester pertama dibandingkan dengan waktu yang sama tahun lalu.

Sebagian besar transaksi berasal dari penambang dan badan usaha milik negara. Para bankir berharap akan ada lebih banyak di paruh kedua di Asia Tenggara dari IPO Pertamina Hulu Energi Indonesia yang direncanakan senilai 1,4 miliar dolar AS dan dari Amman Mineral Internasional diperkiraan sebesar 880 juta dolar AS.

"Kami memahami masih ada beberapa pencatatan potensial yang sedang dikerjakan di wilayah ini yang akan mendukung penerbitan baru," kata Edmund Leong, Head of Group Investment Banking, UOB.

Baca juga: Pasar saham gamang tentang perubahan arah Fed dan sektor perbankan

Baca juga: Para pemimpin keuangan Asia diskusikan peningkatan perlindungan pasar


 

Pewarta: Apep Suhendar
Editor: Ahmad Buchori
COPYRIGHT © ANTARA 2023