Singapura (ANTARA) - Dolar AS menguat secara luas di awal sesi Asia pada Selasa pagi, dan mencapai level tertinggi tujuh bulan terhadap yen, sementara yuan tergelincir setelah China memangkas dua suku bunga acuan pinjaman untuk pertama kalinya dalam 10 bulan.

China pada Selasa menurunkan suku bunga pinjaman satu tahun dan lima tahun (LPR-loan prime rates) sebesar 10 basis poin, seperti yang diperkirakan secara luas, karena pihak berwenang berusaha untuk menopang pemulihan yang melambat di ekonomi terbesar kedua di dunia itu.

Yuan di pasar luar negeri sedikit melemah setelah keputusan tersebut, turun lebih dari 0,1 persen pada 7,1734 per dolar, melemah di dekat level terendah tujuh bulan minggu lalu.

"Sejauh mana penurunan - kita berbicara tentang basis poin, bukan persentase, jadi itu tidak benar-benar akan mengubah arah," kata Rodrigo Catril, ahli strategi mata uang senior di National Australia Bank (NAB).

"Yang benar-benar ditunggu pasar adalah beberapa langkah konkret dari sisi fiskal dalam hal pengeluaran."

Di tempat lain, dolar AS sedikit lebih tinggi dalam perdagangan yang berhati-hati setelah liburan di Amerika Serikat pada Senin (19/6) membuat aktivitas pasar tidak terdengar.

Greenback memuncak pada 142,26 yen pada awal perdagangan Asia, tertinggi sejak November, menyusul keputusan Bank Sentral Jepang (BoJ) pada Jumat (16/6) untuk mempertahankan kebijakan moneternya yang sangat longgar.

Yen berada di bawah tekanan baru di tengah meningkatnya perbedaan suku bunga antara Jepang dan pasar negara maju lainnya secara global.

"Kami percaya bahwa ekonomi Jepang pulih dengan solid dibandingkan dengan ekonomi utama lainnya dan akan terus berkinerja baik di masa depan. Namun, jika kebijakan moneter gagal mencerminkan pergeseran fundamental ekonomi ini dan BoJ mempertahankan kebijakan dovish-nya, maka yen akan terdepresiasi bahkan lebih lanjut," kata Min Joo Kang, ekonom senior ING untuk Korea Selatan dan Jepang, dalam catatan klien.

Dolar Australia turun 0,42 persen menjadi 0,6818 dolar AS, setelah risalah dari pertemuan kebijakan Bank Sentral Australia (RBA) bulan ini menunjukkan dewan mempertimbangkan mempertahankan suku bunga tidak berubah mengingat belanja konsumen jelas melambat, tetapi merasa risiko inflasi telah bergeser menjadi naik.

Dolar Selandia Baru merosot 0,12 persen menjadi 0,6191 dolar AS, setelah jatuh lebih dari 0,5 persen di sesi sebelumnya.

Dalam mata uang lainnya, euro tergelincir 0,03 persen menjadi 1,0917 dolar, meskipun tetap didukung oleh Bank Sentral Eropa yang masih hawkish setelah dua pembuat kebijakan pada Senin (19/6) mengatakan bank akan berbuat salah di sisi kenaikan suku bunga lebih lanjut ketika tingkat inflasi bisa datang bahkan lebih tinggi dari yang diperkirakan.

Sterling naik 0,05 persen menjadi 1,2797 dolar, menjelang data inflasi Inggris dan keputusan suku bunga Bank Sentral Inggris (BoE) akhir pekan ini.

Pasar memperkirakan BoE untuk memberikan kenaikan suku bunga seperempat poin pada Kamis (22/6), yang akan menjadi kenaikan ke-13 berturut-turut karena bank melawan inflasi yang tidak terduga.

"Pasar terus meningkatkan ekspektasi tidak hanya pengiriman berpotensi lebih dari 25 basis poin minggu ini, tetapi (juga) suku bunga terminal yang lebih tinggi," kata Catril dari NAB.

"Sampai batas tertentu, kami berpikir bahwa perkiraan menjadi sedikit terlalu agresif dalam hal apa yang menurut kami perlu dilakukan oleh Bank Sentral Inggris."

Terhadap sekeranjang mata uang, dolar AS naik 0,03 persen menjadi diperdagangkan di 102,51.

Baca juga: Dolar AS menguat di tengah meningkatnya permintaan "safe haven"

Baca juga: Dolar merangkak naik di Asia, investor kaji jalur suku bunga ke depan

Pewarta: Apep Suhendar
Editor: Ahmad Buchori
COPYRIGHT © ANTARA 2023