Yogyakarta (ANTARA News) - Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta membantah penurunan status aktivitas Gunung Merapi dari "awas" ke "siaga" terlalu tergesa-gesa. "Keputusan penurunan status itu berdasarkan data aktivitas Gunung Merapi yang terus menurun," kata Ketua BPPTK Yogyakarta Ratdomo Purbo, Kamis. Menurut dia, awan panas yang terjadi sepanjang hari Rabu (14/6) lalu merupakan tipe Merapi yang sewaktu-waktu dapat berubah dengan cepat. "Apalagi awan panas dapat meluncur cepat ke hulu Kali Gendol karena tidak ada lagi hambatan setelah kubah `Geger Boyo` (kubah lava 1911) runtuh beberapa waktu lalu," katanya. Lebih lanjut ia mengatakan kondisi Merapi terakhir dari puncaknya terus menerus mengeluarkan awan panas belasan kali dan terjadi hampir setiap jam. Semuanya mengarah ke hulu Kali Gendol dengan jarak luncur maksimum 4,5 kilometer. "Data visual sampai saat ini belum semua masuk tapi data lapangan menyebutkan endapan awan panas yang terjadi kemarin merupakan campuran batuan lama dan magma baru yang gugur," ujar dia. Hingga Kamis sore puncak Merapi masih tertutup asap dan kabut, sehingga sulit melakukan pemantauan secara visual. Dia mengatakan sebenarnya dengan kejadian luncuran awan panas pada Rabu (14/6) lalu pihaknya telah melakukan peringatan dini kepada warga sekitar Merapi untuk mengungsi. "Maka tidak benar jika dinyatakan terlambat memberikan peringatan dini," sambungnya. Kata dia, pada waktu itu warga diminta segera turun, dan kenyataannya seluruh warga Kaliadem semua selamat. "Langkah ini merupakan prinsip mitigasi bencana," sambung dia. Ratdomo Purbo mengatakan saat ini Bukit Kendil di utara Kaliadem telah dipenuhi material vulkanik dari guguran lava pijar serta endapan awan panas Merapi, sehingga meluap sampai Kaliadem. "Luncuran awan panas menerjang Kaliadem melalui aliran Kali Gendol, sehingga dikhawatirkan jika terjadi awan panas yang lebih besar lagi akan meluncur lebih ke bawah lagi," katanya. Kondisi yang terjadi Rabu (14/6), kata dia, sebenarnya sama seperti yang terjadi pada 22 November 1994 dan 2001. Saat itu status aktivitas Merapi diturunkan, namun beberapa saat kemudian terjadi peningkatan aktivitas dengan luncuran awan panas yang menyebabkan jatuh korban jiwa manusia cukup banyak pada 1994. "Kami berharap masyarakat setempat tetap waspada, karena sewaktu-waktu awan panas dapat terjadi lagi dengan jarak luncur yang lebih jauh," ujar dia.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006