Jakarta (ANTARA) - Sabtu pagi menjelang siang itu cukup cerah. Orang-orang mengerubungi panggung Festival Kanal Banjir Timur (KBT) yang kedua kalinya digelar di kawasan Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur.

KBT atau lebih dikenal dengan BKT (Banjir Kanal Timur) menjadi salah satu lokasi kegiatan mengisi HUT Ke-496 DKI Jakarta.

Pagi itu, sekitar panggung semakin padat ketika acara perlombaan dimulai, salah satunya lomba palang pintu. Lomba dibuat seperti aslinya lengkap dengan sepasang pengantin berpakaian adat Betawi berwarna kuning keemasan.

Pakaian yang dikenakan sepasang pengantin merupakan akulturasi dari budaya Melayu, Arab, dan China. Pengantin pria mengenakan pakaian adat dandanan care haji, berupa celana panjang yang dipadu dengan jubah panjang bersulam manik atau mote dan sorban berhias tiga untai melati.

Sementara pengantin wanita mengenakan dandanan care none pengantin cine. Baju lengan panjang penuh mote berwarna emas dipadu dengan rok panjang yang disebut kun  sedangkan hiasan sanggul kepala berupa ronce kembang goyang dilengkapi cadar.

Cadar yang digunakan bukan seperti umum  kenal, yaitu dari kain yang menutupi sebagian wajah sehingga hanya terlihat bagian mata. Cadar pengantin perempuan Betawi merupakan bagian dari mahkota yang disebut siangko.

Cadar siangko berwarna emas dibuat dari manik-manik yang menjuntai menutupi wajah mempelai sehingga penonton masih bisa melihat wajah pengantin yang sudah dihias dengan cantik.

Di sisi kiri kanan siangko disisipkan dua pasang burung hong serta beberapa aksesori lain yang melengkapi seperti kembang kelapa, kembang goyang, dan kembang rumput dengan jumlah yang berbeda-beda.

Pengantin pria juga didampingi rombongan dengan segala atribut khas Betawi, seperti akar kelapa, roti buaya, dan bermacam hantaran lainnya.

Pada pernikahan adat Betawi, palang pintu sifatnya wajib ketika rombongan pengantin laki-laki datang ke tempat pengantin wanita sebelum prosesi ijab kabul dilakukan.

Palang pintu sendiri adalah tradisi yang menggabungkan seni beladiri dengan seni pantun.

Jadi, jangan heran jika dalam rombongan pengantin ada laki-laki yang berpakaian layaknya pendekar, yaitu baju pangsi yang terdiri kemeja polos longgar tanpa kerah dan celana panjang longgar berwarna senada. Di bagian dalam berupa kaos putih juga dilengkapi sabuk besar yang melilit di pinggang.

Para jawara dari kedua mempelai tersebut yang akan menunjukkan kebolehan berbalas pantun dan beladiri.

Ibarat kata, palang pintu adalah simbol ujian bagi mempelai pria sebelum masuk untuk meminang sang pujaan hati, sebelum ijab kabul dilantunkan untuk membuka pintu restu dari keluarga mempelai perempuan.


Penjaga tradisi

Menurut tokoh Betawi H. Zahrudin Ali Al Batawi, palang pintu adalah ujung tombak budaya Betawi karena mencakup ragam budaya, mulai dari silat hingga seni, humor, dan lainnya.

Tokoh yang juga dikenal dengan Raja Pantun itu mengatakan tidak afdal jika prosesi pernikahan adat Betawi tanpa tradisi palang pintu.

Tokoh Betawi lainnya, H. Bachtiar Pitung, juga mengatakan bahwa dalam setiap tahapan prosesi palang pintu terdapat filosofi yang bermakna dalam sebagai penjaga tradisi.

Jadi, palang pintu tidak boleh dilakukan sembarangan, tapi harus sesuai dengan adat dan tradisi, mulai dari pakaian, atribut yang dibawa rombongan mempelai, dan lainnya.

Pendiri Sanggar Si Pitung di Rawa Belong itu menjelaskan, palang pintu harus diiringi tim rebana asli Betawi, yaitu Rebana Ketimpring paling sedikit tiga orang.

Disebut Rebana Ketimpring karena adanya tiga pasang "ketimpring" atau kerincingan berbentuk seperti kecrek yang dipasang pada rebana yang terbuat dari kayu.

Ada juga sepasang kembang kelapa atau disebut kembang kelape dalam Bahasa Betawi, berupa hiasan berbentuk bunga kelapa yang memiliki makna tersendiri dengan harapan kedua mempelai menjalankan kehidupan yang memberikan manfaat untuk semua.

Seperti pohon kelapa yang semua bagiannya bisa bermanfaat--tidak ada yang terbuang, mulai dari daunnya, buah, hingga airnya--diharapkan mempelai bermanfaat bagi dirinya, keluarga, dan nusa bangsa.

Begitu pula dengan pakaian, bukan hanya pengantin, rombongan juga harus berbusana Betawi berupa pakaian sadariah yaitu baju koko putih polos, kain sarung kotak-kotak, celana panjang hitam, dan kopiah hitam polos. Jika mengenakan celana batik harus menggunakan sandal terompah Betawi yang berupa sandal jepit dan biasa terbuat dari kulit.

Kain sarung bercorak kotak-kotak besar yang disampirkan di bahu kanan kiri juga punya arti tersendiri, bisa sebagai pengganti sajadah untuk shalat hingga menjadi senjata saat menghadapi musuh.

Pembawa acara pernikahan pun harus berpakaian khas Betawi, berupa jas tutup dilengkapi kain di bawah jas yang panjangnya lima jari di atas lutut, serta celana panjang yang senada dengan jas tutup.

Jas tutup berkancing lima melambangkan rukun Islam dilengkapi dengan hiasan kuku macan sebagai lambang keberanian pria Betawi.

Palang pintu dimulai dengan salam pembuka perihal maksud kedatangan rombongan mempelai pria. Dilanjutkan adu pantun dengan berbahasa Betawi menanyakan kesiapan mempelai pria, kemudian masing-masing jawara menunjukkan kemampuan pencak  silatnya.

Atraksi beladiri itu untuk menguji kesanggupan mempelai pria yang direpresentasikan pelaku palang pintu, kemudian pembacaan ayat suci Al Quran.

Hal ini sebagai wujud keseriusan sang pria dalam membina hubungan rumah tangga yang berlandaskan ajaran agama Islam.

Apabila kedua syarat yang diberikan oleh mempelai perempuan berhasil terlaksana maka palang pintu terbuka dan mempelai laki-laki beserta rombongan besan dipersilakan masuk untuk melaksanakan akad nikah.

Terbukanya palang pintu ditandai dengan pelantunan selawat dustur oleh rombongan mempelai pria dan juga sebagai hiburan penutup.

Maka, patutlah palang pintu terus dilestarikan hingga saat ini karena di dalamnya begitu sarat dengan ragam budaya, seni, dan nilai agama.

Juga, demi menjadikan palang pintu sebagai penghalang arus budaya baru yang tidak selalu selaras dengan jati diri bangsa.


Editor: Achmad Zaenal M

 

Pewarta: Desi Purnamawati
Editor: Achmad Zaenal M
COPYRIGHT © ANTARA 2023