Jakarta (ANTARA) -
Konsultan kesehatan masyarakat yang merupakan lulusan dari Universitas Glasgow, Skotlandia, Samuel Josafat Olam menekankan pentingnya peningkatan literasi kesehatan masyarakat untuk menekan kasus stunting.
 
"Misalnya dalam hal pemilihan makanan, literasi kesehatan itu menentukan sekali, selama ini masyarakat masih sering mengambil perilaku bukan berdasarkan keputusan logis, tetapi hanya mengikuti norma sosial saja," kata Samuel pada acara bertema "Stunting bukan sekedar bantuan pangan" di Jakarta Selatan, Kamis.
 
Samuel menjelaskan, norma sosial yang selama ini dianut masyarakat adalah kebiasaan "ikut-ikutan" atau hanya melakukan sesuatu berdasarkan apa yang selama ini diyakini benar di tengah masyarakat.
 
"Misalnya pada pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI), dimana masih banyak yang menganggap bahwa bubur atau makanan tidak bertekstur paling aman untuk bayi, padahal anggapan tersebut tidak ada bukti yang kuat," katanya.
 
Menurutnya, penting untuk melakukan peningkatan kapasitas kader kesehatan di daerah demi meningkatkan literasi kesehatan masyarakat.
 
"Stunting ini kuncinya ada di layanan kesehatan, dimana kalau kita lihat masih banyak layanan kesehatan yang mengandalkan puskesmas dan posyandu sebagai pusat kesehatan primer, dan yang berperan penting di sana adalah para bidan dan kader kesehatan," ucap dia.

Baca juga: KSP: Presiden wanti-wanti program penurunan "stunting" harus cermat

Ia juga menekankan pentingnya intervensi stunting berdasarkan bukti dan pengolahan data yang valid.
 
"Perlu ada survei dan penelitian lebih lanjut, misalnya membandingkan, desa yang satu dilakukan pemeriksaan kader, yang satu lagi tidak ada pemeriksaan kader. Setelah beberapa tahun dilihat dan dibandingkan, penurunan stunting lebih signifikan mana, data itu nantinya diulas dan diolah oleh peneliti agar jadi satu bukti yang kuat, jadi setiap intervensi yang kita lakukan berbasis data," paparnya.
 
Menurutnya, penting bagi pemerintah untuk fokus memprioritaskan anggaran pada intervensi spesifik dan intervensi sensitif untuk menangani stunting, tidak hanya fokus pada bantuan permakanan saja.
 
"Alokasi anggaran itu sebaiknya betul-betul mengarah langsung pada peningkatan gizinya, juga intervensi sensitif, yang salah satunya yakni peningkatan akses dan kualitas pelayanan gizi dan kesehatan," kata dia.
 
Ia menegaskan, intervensi sensitif misalnya akses jaminan kesehatan, layanan keluarga berencana, hingga penyediaan konseling kesehatan dan reproduksi untuk remaja tak kalah penting karena dapat berpengaruh pada jangka panjang.
 
"Investasi ke sumber daya manusia itu lebih penting, untuk membangun literasi kesehatan masyarakat yang lebih baik, untuk itu perlu payung hukum yang memastikan ada kebijakan anggaran untuk mengatur kader-kader di posyandu agar kualitasnya meningkat," tuturnya.
 
Selain itu, Samuel juga menekankan kasus stunting ini perlu terus dikawal agar terus menjadi agenda nasional, salah satunya melalui integrasi dengan pembangunan Indonesia Emas 2045.
 
"Kalau mau kasus stunting terus dikawal, kita harus melihat ini sebagai investasi pembangunan manusia, data dari World Bank itu, jika kita investasi pada gizi dan kesehatan, setiap 1 Dollar, investasinya akan meningkat 48 kali," ujar dia.

Baca juga: TNI AL ajak BKKBN pakai kapal untuk perluas KB di daerah terpencil

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Triono Subagyo
COPYRIGHT © ANTARA 2023