Damaskus (ANTARA News) - Perang di Kota terbesar Suriah, Aleppo, telah membuat banyak keluarga menyelamatkan diri dari konflik yang berkecamuk dan meninggalkan rumah serta kenangan hidup mereka dengan hati sedih.

Di tengah makin hilangnya prospek penyelesaian bagi krisis 23 bulan di Suriah, jutaan orang Suriah dilaporkan terkurung di tengah pertempuran yang tak memperlihatkan ujung dan telah memaksa mereka meninggalkan rumah mereka, terutama di Aleppo.

Kota di bagian barat-laut Suriah tersebut telah menjadi tempat kebanyakan pertempuran antara prajurit pemerintah dan gerilyawan bersenjata, yang berusaha menggulingkan Pemerintah Presiden Bashar al-Assad dengan kekerasan.

Um Omar, ibu empat anak, memberitahu Xinhua bahwa ia telah meninggalkan Aleppo setelah pertempuran antara gerilyawan dan prajurit pemerintah menyebar dari pinggiran kota dan menenggelamkan kota itu.

Perempuan yang berusia 32 tahun tersebut telah mencari perlindungan di satu sekolah di Ibu Kota Suriah, Damaskus, bersama dengan 24 anggota keluarga besarnya.

Sambil duduk bersila di permadani tipis di salah satu ruang yang pernah menjadi ruang kelas di gedung sekolah itu, Um Omar mengungkapkan ia dulu adalah simpatisan gerilyawan Tentara Bebas Suriah. Namun gerilyawan tersebut datang ke tempat tinggalnya di Masaken Hanano dan membawa kepedihan perang buat keluarganya.

Ia mengatakan begitu gerilyawan memasuki daerah mereka, prajurit pemerintah pun ikut masuk untuk memerangi mereka, demikian laporan Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Kamis malam.


"Ketika mereka berkumpul di jalan-jalan, tentara turun tangan dan mereka pun mulai bertempur. Setelah hari pertama pertempuran, tank militer bergerak masuk dan orang-orang bersenjata mengambil posisi di atap bangunan serta menggunakan senjata anti-pesawat untuk menembak jet tempur sehingga Angkatan Udara membalas."

"Bentrokan telah meningkat dari kedua pihak; masing-masing dari mereka saling serang," kata perempuan yang dilanda kekhawatiran terhadap perang itu. Ia menambahkan saat pertempuran bertambah sengit, "barang-barang dari kaca di rumahnya mulai hancur dan saya memberitahu suami saya bahwa saya tak mau tetap tinggal di Aleppo dan saya ingin pergi ke Damaskus".

"Saya menghubungi adik perempuan saya dan bertanya di mana ia tinggal dan ia memberitahu saya ia tinggal di satu sekolah. Saya mencatat alamatnya dan pergi ke Damaskus dan setelah satu pekan di sini saya mendengar bahwa rumah saya rata dengan tanah," kata perempuan tersebut sementara anak-anaknya duduk di sekitarnya.

Saudara perempuannya, kepala sekolah menengah dan ibu enam anak yang minta disebut sebagai Um Mohammad, mengatakan ia telah meninggalkan rumahnya di Daerah Midan di Aleppo setelah daerah itu dipenuhi banyak penembak gelap. "Kami jadi kesulitan untuk tinggal di sana," katanya.

"Saya juga adalah anggota Partai Al-Baath, yang telah membuat saya menghadapi banyak masalah dan itu sebabnya mengapa kami meninggalkan rumah kami," katanya.

Pertempuran di Kota Aleppo meletus pada Juli 2012 dan meningkat pada penghujung bulan tersebut, ketika konflik menyelimuti kota itu, yang berdekatan dengan perbatasan Turki.

Aleppo dan Damaskus sebelum terbebas dari kepahitan konflik mematikan yang menelan sebagian besar daerah di negeri tersebut sejak Maret 2011 dan menewaskan lebih dari 70.000 orang. Kedua kota itu bahkan telah menyaksikan himpunan puluhan ribu orang yang mendukung Pemerintah Presiden Bashar al-Assad.

Namun gerilyawan, yang memiliki tekad makin kuat untuk menjatuhkan pemerintah, memutuskan untuk membawa pertempuran ke kedua kota besar tersebut dengan harapan bisa mempercepat kejatuhan Pemerintah Presiden Bashar.

Pertempuran paling akhir telah berkecamuk di sekitar Bandar Udara Internasional Aleppo dan Pangkalan Udara An-Nairab, yang bersebelahan. Gerilyawan telah berusaha menyerbu kedua tempat itu sejak Januari.
(C003)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2013