Jakarta (ANTARA News) - Pengamat politik Siti Zuhro mengatakan pelaksanaan otonomi daerah di Tanah Air harus ditata ulang dan diperjelas otoritas daerah dalam menjalankan pemerintahannya.

"Harus dipastikan seperti apa `design` (rancangan) otonomi daerah. Kalau pada zaman Orde Baru jelas bahwa titik berat otonomi ada di kabupaten-kota," kata peneliti senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu di Jakarta, Rabu.

Di Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, menurut dia, tidak dijelaskan mengenai pemegang otoritas otonomi daerah dan UU tersebut seolah-olah diterjemahkan sebagai kelanjutan UU lama.

Oleh karena itu, fungsi gubernur di tingkat provinsi daerah otonomi tidak berjalan secara maksimal dan menjadi "perpanjangan tangan" dari Pemerintah pusat.

"Seharusnya, provinsi diberi otonomi sepenuhnya karena kabupaten dan kota tidak akan menganggap dan memperhitungkan provinsi," jelasnya.

Hal itu disebabkan peran provinsi dalam UU tersebut tidak jelas, apakah sebagai pengatur hak otonomi daerah atau wakil dari pemerintah pusat, tambah dia.

Dia menjelaskan sebenarnya kondisi wilayah-wilayah di Indonesia memiliki potensi baik untuk diberikan hak otonomi, hanya saja dengan paranoia Pemerintah Pusat maka otonomi daerah tidak berjalan seperti yang diharapkan.

"Pemerintah tidak perlu takut karena justru penguatan di provinsi itu akan mendukung kepentingan nasional kita," katanya.

Salah satu upaya untuk menumbuhkan kepercayaan diri daerah dalam melaksanakan otonomi adalah dengan penyelenggaraan pemilihan gubernur langsung.

Pilkada langsung di tingkat provinsi dapat membuka kesempatan bagi daerah untuk menjalankan hak kekuasaan otonomi daerah yang telah diberikan Pemerintah Pusat.

Dalam UU Pemerintah Daerah itu, menurut dia, gubernur hanya berfungsi sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Pusat, sehingga perannya tidak berfungsi maksimal di daerahnya.

Sementara itu, di RUU Pilkada, yang saat ini masih dalam tahap pembahasan, pemerintah mengusulkan pemilihan gubernur diselenggarakan tidak langsung, yaitu dengan dipilih oleh anggota DPRD provinsi setempat.

Pemerintah menilai pilkada langsung secara langsung menelan biaya besar, apalagi jika dilakukan dalam dua putaran yang juga dapat menimbulkan konflik horizontal.

Dengan pemilihan gubernur tidak langsung, Pemerintah berharap praktik politik uang dalam pelaksanaan pilkada dapat diminimalisir.
(F013/R010)

Pewarta: Fransiska Ninditya
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2013