New York City (ANTARA) - Terlepas dari fakta bahwa Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengecam pemerintahan Trump atas keputusannya untuk keluar dari Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (Joint Comprehensive Plan of Action/JCPOA) 2015 dan menyatakan selama masa kampanye kepresidenannya bahwa dia akan mengembalikannya, pemerintahan Biden belum secara resmi mengembalikan AS sebagai bagian dari perjanjian tersebut, demikian diungkap sebuah artikel yang dirilis Quincy Institute for Responsible Statecraft pada Rabu (12/7).

Artikel itu menyebutkan, alih-alih memperbaiki masalah yang dibuatnya sendiri, AS justru menutup-nutupi situasi nuklir yang sulit dan terus berkembang dengan Iran dengan dalih bahwa Iran melanggar kesepakatan dan isu-isu di luar berkas nuklir.

Lebih lanjut, artikel tersebut juga mengemukakan bahwa kasus JCPOA, termasuk pelanggaran AS terhadap kesepakatan tersebut dan penolakan kerasnya dalam mengambil tanggung jawab, mengungkapkan sebuah dilema yang lebih besar di Barat dan kebijakan luar negeri AS secara khusus, yaitu kemunafikan.

"Signifikansi kebuntuan ini tidak dapat diabaikan karena berdampak pada urusan politik global," tulis artikel tersebut.

Kenyataannya, internasionalisme dan lembaga-lembaga internasional hanya dapat bekerja jika aturan-aturan dalam "tatanan berbasis aturan" itu diterapkan secara konsisten dan adil secara menyeluruh. Jika tidak, mereka akan menjadi alat kekuasaan dan imperialisme, tambah artikel tersebut.

"Standar ganda dan ketidakkonsistenan turut mendorong negara-negara lain untuk melakukan hal serupa dan melawan kekuatan Barat ketimbang berfokus pada kerja sama global," kata artikel itu.

"Ketidakkonsistenan ini mengungkap kebenaran yang memprihatinkan. Bahwa kita tidak tertarik dengan internasionalisme atau tatanan berbasis aturan yang kita promosikan dengan gigih. Sebaliknya, yang kita minati adalah politik kekuasaan dan mempertahankan tatanan dunia dengan dominasi AS lebih diutamakan ketimbang kerja sama internasional," demikian artikel tersebut memaparkan.

Pewarta: Xinhua
Editor: Junaydi Suswanto
COPYRIGHT © ANTARA 2023