Jakarta (ANTARA News) - Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat berencana melakukan kunjungan kerja ke empat negara besar di Eropa yakni Rusia, Prancis, Inggris, dan Belanda.

Anggota Komisi III DPR Dimyati Natakusumah ketika ditemui di Gedung Nusantara II DPR di Jakarta, Jumat, mengatakan kunjungan kerja tersebut ditujukan untuk melakukan studi banding terkait pembahasan revisi KUHP dan KUHAP yang kini dibahas di Komisi III.

"Memang betul untuk revisi KUHAP dan KUHP, kami masih perlu melakukan studi komparatif guna mendapatkan masukan, melihat, dan mendengar secara langsung dari sumber hukum yang menganut Eropa Kontinental," kata Dimyati.

Dia menjelaskan, kunjungan kerja tersebut akan difokuskan pada penggalian informasi terkait dengan adanya pasal yang menyangkut tentang praktik santet.

Menurut dia, praktik sihir semacam itu juga terjadi dan dibahas dalam undang-undang hukum di negara-negara Eropa sejak lama.

"Jangan salah, santet itu bagian dari sihir. Sihir di zaman nabi sudah ada di negara luar. Ini perlu pengaturan-pengaturan. Sebenarnya, kami bisa mempelajari melalui internet, tapi kalau secara langsung kan lebih akuntabel," ujarnya.

Anggota DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menambahkan, tidak semua anggota Komisi III ikut dalam kunjungan kerja yang akan dilaksanakan pada 14 April tersebut.

"Kami tidak ikut semua, hanya anggota yang konsentrasinya pada soal KUHAP dan KUHP yang ikut. Yang berangkat untuk setiap negara itu ada 15 orang. Dan kunjungan itu sekitar tiga hari," paparnya.

Sebelumnya, beberapa pasal di RUU KUHP yang diajukan pemerintah ke DPR menuai kontroversi, salah satunya pasal yang terkait dengan praktik santet. Komisi III menolak pasal tersebut dimasukkan dalam RUU KUHP.

"Pasal tentang praktik santet ini banyak mudharatnya dan memundurkan praktik hukum karena memfasilitasi irasionalitas," kata anggota Komisi III dari Fraksi PDIP Eva Sundari.

Eva mengatakan bahwa pasal itu tidak layak dimasukkan dalam KUHP karena praktik santet cenderung sulit dibuktikan, khususnya pembuktian soal pelakunya.

"Secara teknis bukti formal mungkin bisa dipenuhi, ada paku, kawat dan lain-lain di perut. Tapi bagaimana materialnya? Terutama tentang pelaku, bahwa yang mengirim santet itu memang benar si X atau si Y," ujarnya.

Dengan sulitnya pembuktian, Eva menilai pasal ini rawan digunakan untuk kriminalisasi. Oleh karena itu, dia menolak keberadaan pasal santet itu dalam KUHP.
(Y012/N002)

Pewarta: Yuni Arisandy
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2013