Surabaya (ANTARA) -
Di lapangan sepak bola THOR, yang berlokasi di kawasan Jalan Indragiri Surabaya, Sabtu (22/7) sore, tampak lebih ramai dari biasanya. Sejumlah kursi ditata lengkap dengan pengeras suara yang dipasang di pinggir lapangan. Terdapat juga sejumlah orang berseragam sepak bola warna hijau, merah, kuning, putih, hingga abu-abu.
 
Mereka bergerombol sesuai dengan seragamnya. Yang memakai seragam merah kumpul dengan merah, putih dengan putih, pun begitu warna-warna berseragam lainnya.
 
Tampak dari sejumlah mereka, seorang yang wajahnya tak asing lagi di dunia perpolitikan Tanah Air. Ia sering tampil di televisi menyampaikan pengamatan, ide maupun solusi tentang politik. Termasuk wajahnya kerap menghiasi media cetak maupun media dalam jaringan (daring).
 
Dia adalah Effendi Ghazali,PhD, pakar komunikasi politik asal Universitas Indonesia. Seorang profesor yang tidak jarang pemikiran-pemikirannya menjadi acuan dari para politikus di Tanah Air.
 
Mengenakan seragam kuning bermotif garis hitam, nomor punggung 10, lengkap dengan inisial namanya, EG, ia tampak bersemangat sore itu. Sepatunya seolah sudah tidak sabar untuk menyapa rumput di lapangan yang menjadi lokasi pemusatan latihan Timnas Indonesia tersebut.
 
Sebelum bertanding, Prof Effendi yang kini juga menjadi pengamat sepak bola itu mendapat kesempatan berbicara melalui mikrofon. Dengan gaya khasnya, ia berharap pertandingan yang akan dilaksanakannya berjalan lancar.
 
Tekadnya menang, karena sebulan lalu ia yang waktu itu satu tim dengan sejumlah jurnalis serta Pelatih Timnas U-23 Indra Sjafri, dibantai dengan skor 5-1 oleh kesebelasan perwakilan Pemerintah Kota Surabaya yang dikomandani Wali Kota Eri Cahyadi.
 
Ketika itu juga tampil Bupati Lumajang Thoriqul Haq, serta sejumlah petinggi PT Bank Syariah Indonesia. Eri Cahyadi turut menyumbangkan satu gol kala itu, sedangkan Bupati Thoriq, meski tak menciptakan namanya di papan skor, tapi penampilannya 2x45 menit tak tergantikan. Tak diganti semenit pun.
 
Akhir pekan lalu, pertandingan lebih bergengsi digelar. Enam tim perwakilan dilibatkan. Bermain 2x20 menit, para pemain berusaha menunjukkan permainan terbaiknya. Namanya fun game, tentu tidak seperti pemain profesional. Kalau sekiranya bola lari cukup kencang, ya tidak dikejar. Para pemenang juga tak mendapat hadiah. Ya, namanya persahabatan. Apalagi bukan skor akhir yang menjadi tujuan utamanya.
 
 
Stadion bersih
 
Bersama pakar komunikasi politik dari Universitas Airlangga Surabaya Dr Suko Widodo, Prof Effendi sedang terlibat dalam inisiasi "Gerakan Stadion Bersih-Indah". Makna utamanya, setiap usai pertandingan lanjutan Liga 1 Indonesia, khususnya musim kompetisi 2023/2024, tak ada lagi sampah-sampah berserakan di stadion.
 
Kertas sisa kemasan nasi, plastik bekas air minum, hingga puntung rokok, "haram" tertinggal dan ditemukan di stadion. Baik tribun, pinggir lapangan, hingga halaman-halaman atau area luar stadion.
 
Suatu gerakan yang luar biasa. Mengapa? Karena pelaku yang terlibat bukan pekerja-pekerja atau tenaga kebersihan, melainkan para suporter dan penonton.
 
Ya, Presidium Nasional Suporter Sepakbola Indonesia (PN-SSI) menjadi inisiator gerakan itu. Melalui kesepakatan yang diwakili perwakilan suporter-suporter seluruh Indonesia, gerakan tersebut dicanangkan.
 
Sudah terbukti memang. Di Surabaya saja, dari dua kali pertandingan kandang saat Persebaya menjamu tamunya, puluhan, bahkan ratusan suporter, tanpa sungkan memunguti sampah.
 
Tak hanya sampah pribadi, tapi juga bungkusan dan bekas-bekas makanan orang lain juga tak luput dibersihkannya. Setiap menemui sampah, langsung dimasukkan plastik besar yang kemudian ditata dan nantinya diangkut oleh truk khusus pengangkut sampah.
 
Sang Sekretaris Jenderal PN-SSI Richard mengakui gerakan-gerakan semacam ini tak mendapat tentangan apapun dari suporter. Malah didukung 100 persen. Semuanya menyatakan kebulatan tekad untuk perang terhadap sampah, khususnya di stadion-stadion, usai pertandingan.
 
Saat mendatangi stadion, keadaannya bersih. Maka ketika pulang pun harus demikian. Jangan menyisakan sampah, sepuntung rokok sekalipun.
 
 
Bersih sepak bolanya
 
Pada prinsipnya, hidup bersih sudah diajarkan kepada semua diri manusia sejak dini. Tak hanya di sekolah, adab kebersihan telah diberikan oleh orang tua kita di lingkungan tempat tinggal.
 
Di Islam juga telah disebutkan bahwa bersih adalah sebagian dari iman. Artinya, setiap orang atau hamba-NYA yang menerapkan hidup bersih, maka dinilai sudah menjalankan salah satu upaya mengimani Allah SWT. Sehat dapat, iman pun dapat. Insya Allah.
 
Hidup bersih memang harus dilakukan oleh siapa saja, kapan saja dan dalam kondisi apa saja. Di dunia sepak bola, jangan hanya bersih dari sampah, tapi dalam permainannya juga harus, bahkan wajib.
 
Pun demikian dengan para pelakunya. Bukan cuma pemain yang dituntut bermain bersih, tapi semua perangkatnya juga, mulai panitia pelaksana, hingga wasit beserta para hakim garis. Penontonnya? Sama, semua harus bersih.
 
Dan yang paling penting adalah organisasinya, atau dalam hal ini Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI). Jika yang mengurus sepak bola tidak bersih, maka bagaimana sepak bola kita ikut bersih?
 
Makanya, Ketua Umum PSSI Erick Thohir sejak terpilih sebagai penguasa di tubuh organisasi itu, bahkan fokus utama saat mencalonkan diri, menjadikan "bersih-bersih" sebagai isu utama.
 
Di tubuh internal organisasi, siapapun, tanpa terkecuali, harus bersih. Bahkan, ketua umum sekalipun sudah berkomitmen menjalankan roda organisasi dengan bersih. Jika tidak, maka konsekuensi hukuman sudah menanti.
 
Di tingkat eksternal organisasi juga sama. Ketua umum tidak akan menoleransi insan-insan sepak bola se-Tanah Air yang sengaja "bermain-main" dengan nilai bersih ini.
 
Bersih-bersih dari mafia seolah menjadi fardlu ‘ain bagi para pengurus baru organisasi sepak bola Tanah Air. Siapapun yang terbukti terlibat akan didepak. Tak ada ampun untuk berkecimpung di dunia sepak bola. Pengaturan skor, menyuap wasit, hingga pemain harus dihentikan. Berantas sampai akar-akarnya.
 
Tentu menjadi tugas bersama untuk menjaganya agar jangan sampai terjadi. Sanksi dan denda juga harus tegas. Jangan ada sedikit-sedikit memberi ampun, mengurangi hukuman, bahkan membebaskan si mafia kembali berkeliaran di dunia persepakbolaan.
 
Komitmen para pengurus organisasi sepak bola baru menjadi harapan pencinta sepak bola Indonesia. Sebab, menjadi percuma jika kompetisi Liga 1, Liga 2, Liga 3, dan kompetisi lainnya, berjalan jika tidak bersih.
 
Pembinaan untuk para pemain-pemain muda juga pasti mandek jika perangkat maupun pemain profesionalnya tidak bersih. Sudah capek-capek, sudah susah-susah membina, membentuk dan menciptakan bibit berkompeten di sepak bola, tapi para seniornya berulah.
 
Jangan sampai. Semua harus menjaganya, termasuk kita, para pencinta sepak bola Indonesia. Imbasnya sudah pasti prestasi Tim Nasional juga meningkat.
 
Mimpi melihat 11 pemain berlari di atas lapangan hijau akan benar-benar lari. Bukan lari mengejar bola, tapi berlari menjauh dari prestasi.
 
Sudah saatnya menerapkan hidup bersih. Bersih hati, bersih jiwa, bersih lingkungan, bersih sepak bola Indonesia. Wani bersih.

Pewarta: Fiqih Arfani
Editor: Masuki M. Astro
COPYRIGHT © ANTARA 2023