Paris (ANTARA News) - Prancis hari Senin mendesak penghentian kekerasan di Republik Afrika Tengah setelah pemberontak menguasai ibu kota dan merebut kekuasan pada akhir pekan.

"Prancis, sesuai dengan prinsip-prinsipnya, mengecam penggunaan kekerasan untuk merebut kekuasaan," kata juru bicara kementerian luar negeri Philippe Lalliot dalam sebuah pernyataan, namun ia tidak menyerukan pemulihan kembali kekuasaan rejim terguling Presiden Francois Bozize.

"Prancis mendesak pasukan pemberontak tidak melakukan tindakan kekerasan terhadap penduduk sipil atau warga asing," kata Lalliot. "Penjarahan harus dihentikan dan ketertiban dipulihkan kembali."

Penyerbuan akhir pekan ke Bangui, ibu kota Republik Afrika Tengah, oleh kelompok pemberontak Seleka membuat Bozize, yang juga merebut kekuasaan dalam kudeta 2003, melarikan diri ke Kamerun. Serangan Seleka itu menewaskan 13 prajurit Afrika Selatan.

Afrika Selatan menempatkan 200 prajurit di Republik Afrika Tengah pada Januari untuk membantu pasukan pemerintah. Prancis mengirim 300 prajurit tambahan ke negara itu pada akhir pekan.

Pengiriman pasukan tambahan itu dimaksudkan untuk menjamin keselamatan warga negara Prancis dan orang-orang asing lain di negara Afrika tersebut.

Prancis kini memiliki 550 prajurit di Republik Afrika Tengah, negara bekas koloninya yang sedang dilanda perang.

Presiden Francois Hollande telah menyatakan bahwa pasukan Prancis tidak akan ikut campur dalam urusan internal negara itu.

Para perwira militer Prancis bertindak sebagai penasihat untuk militer Republik Afrika Tengah, dan Paris pada masa silam membantu mendukung atau menggulingkan pemerintah di negara tersebut.

Namun, Prancis, yang memiliki pakta pertahanan resmi dengan Republik Afrika Tengah sejak 1960, semakin enggan terlibat langsung dalam konflik-konflik di negara bekas jajahannya itu.

Republik Afrika Tengah, yang memiliki penduduk sekitar 4,5 juta jiwa, tidak stabil sejak merdeka dari Prancis pada 1960, dengan sejarah kudeta dan pemberontakan.

Seleka, sebuah aliansi dari tiga kelompok bersenjata, memulai aksi bersenjata mereka pada 10 Desember dengan menuduh Presiden Francois Bozize tidak menghormati sebuah perjanjian 2007 yang menetapkan bahwa anggota-anggota yang meletakkan senjata mereka akan dibayar. (M014)

Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2013