Surabaya (ANTARA News) - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sri Sultan Hamengkubuwono X, menilai bahwa peraturan daerah (perda) yang bersifat syariat (hukum Islam) dan diberlakukan di berbagai daerah harus batal demi hukum, karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. "Kalau bertentangan dengan UU dan UUD 1945, maka Perda Syariat harus batal demi hukum, tapi masalahnya apakah penguasa berani atau tidak?," katanya usai menjadi pembicara utama dalam konsolidasi nasional bertajuk Mempertahankan Pancasila, Meneguhkan Kebhinnekaan, di Surabaya, Jumat. Menurut dia, pembatalan Perda Syariat itu sangat tergantung kepada Pemerintah Syariat dalam mengatur perundang-undangan, apakah perda itu dianggap mengganggu keberagaman dan kebangsaan atau tidak, maka hal itu menjadi kewenangan Departemen Dalam Negeri (Depdagri). "Kalau ya, ya dilarang saja," kata salah seorang fungsionaris DPP Partai Golongan Karya (Golkar) itu. Raja Yogyakarta mengemukakan hal tersebut menanggapi usulan anggota DPR RI untuk mencabut Perda Syariat di seluruh Indonesia, yang mayoritas ada di kabupaten/kota di wilayah Jawa Barat. Perda Syariat itu merupakan peraturan yang dirumuskan di tingkat DPRD kabupaten/kota dengan substansi mengenai anti-judi, anti-minuman keras, anti-prostitusi, anti-narkotika, sehingga ada anggota DPR RI mengusulkannya dicabut. Sementara itu, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, Dr KH Ali Maschan Moesa, yang menjadi pembicara dalam acara itu menegaskan bahwa nilai sebuah agama tidak boleh masuk dalam perda, kecuali nilai agama yang mengandung nilai universal. "Karena itu, harus dipetakan, mana nilai agama yang khusus dan mana nilai agama yang universal. Kalau nilai agama yang universal itu masuk ke dalam perda ya nggak ada persoalan, tapi memang seperti dikatakan Pak Hasyim Muzadi, sebaiknya jangan memakai istilah syariat, sebab yang penting itu isi, bukan kemasan," demikian KH Ali, mengutip pendapat KH Hasyim Muzadi, Ketua Pengurus Besar NU. (*)

Editor: Priyambodo RH
COPYRIGHT © ANTARA 2006