Singapura (ANTARA) - Yen tergelincir ke level terendah baru tiga minggu di awal sesi Asia pada Selasa pagi, karena para pedagang mengkaji langkah-langkah Bank Sentral Jepang (BoJ) minggu lalu untuk mengubah kebijakan kontrol kurva imbal hasil (YCC), sementara dolar Australia melemah jelang keputusan kebijakan Bank Sentral Australia.

Yen telah naik liar sejak Jumat (28/7), ketika BoJ mengambil langkah lain menuju pergeseran lambat dari dekade stimulus moneter besar-besaran, mengatakan akan menawarkan untuk membeli obligasi Pemerintah Jepang 10 tahun sebesar 1,0 persen dalam operasi suku bunga tetap, bukannya pada tingkat sebelumnya 0,5 persen.

Mata uang Asia itu menyentuh level terendah 142,80 per dolar AS. Yen terakhir di 142,66 per dolar Amerika Serikat (AS), turun 0,26 persen. Imbal hasil obligasi pemerintah Jepang bertenor 10 tahun melonjak pada Senin (31/7) ke level tertinggi sembilan tahun, membuat bank sentral melakukan operasi pembelian tambahan untuk membatasi kenaikannya.

"Pasar dapat menguji seberapa 'fleksibel' BoJ dalam beberapa bulan mendatang," kata Carlos Casanova, ekonom senior Asia di UBP di Hong Kong, dalam sebuah catatan, menambahkan perubahan halus menunjukkan bahwa BoJ mungkin bersiap untuk mengubah target YCC pada tahun 2023.

"Karena limit baru adalah 1,0 persen, masuk akal untuk memperluas pita YCC pada level ini," katanya pula.

Perhatian investor selama jam Asia akan tertuju pada keputusan kebijakan dari Bank Sentral Australia (RBA).

Pasar pada umumnya memperkirakan pembuat kebijakan untuk mempertahankan suku bunga stabil tetapi sebagian kecil ekonom mendukung kenaikan, dengan alasan bahwa inflasi kemungkinan akan tetap kuat untuk beberapa waktu. Dolar Australia melemah 0,06 persen menjadi 0,672 dolar AS, setelah naik 0,8 persen pada Juli.

Ahli strategi Commonwealth Bank of Australia Kristina Clifton mengatakan keputusan RBA kemungkinan akan menjadi panggilan terakhir, mencatat sejarah menunjukkan bahwa jika RBA naik ketika tidak sepenuhnya diharapkan maka Aussie dapat naik sekitar 0,8 persen.

"Namun, kami perkirakan setiap penguatan pasca RBA di Aussie akan berumur pendek mengingat prospek ekonomi global yang lemah," katanya pula.

Sementara itu, data survei Federal Reserve yang dirilis pada Senin (31/7) menunjukkan bank-bank AS melaporkan standar kredit yang lebih ketat dan permintaan pinjaman yang lebih lemah baik dari bisnis maupun konsumen selama kuartal kedua.

Senior Loan Officer Opinion Survey atau SLOOS triwulanan Fed juga menunjukkan bahwa bank berharap untuk lebih memperketat standar selama sisa tahun 2023, menambah bukti lebih lanjut bahwa kenaikan suku bunga berdampak pada perekonomian.

Standar pinjaman yang ketat dapat memperkuat efek kenaikan suku bunga dan berkontribusi pada resesi AS akhir tahun ini, kata Clifton dari CBA.

Terhadap sekeranjang mata uang, dolar naik 0,059 persen pada 101,93, menggoda puncak baru tiga minggu. Indeks turun 1,0 pada Juli.

Sementara itu, sterling terakhir turun 0,08 persen menjadi 1,2827 dolar, setelah naik 1,1 persen pada Juli. Pertemuan kebijakan Bank Sentral Inggris pada Kamis (3/8) menjadi sorotan, dengan pasar terpecah rata antara kenaikan 25 dan 50 basis poin.

Euro turun 0,06 persen menjadi 1,0986 dolar, sedangkan kiwi turun 0,14 persen menjadi 0,620 dolar AS.
Baca juga: Dolar melemah di tengah meredanya inflasi AS
Baca juga: Dolar jatuh di Asia jelang data inflasi AS, pound di puncak 15 bulan

Pewarta: Apep Suhendar
Editor: Budisantoso Budiman
COPYRIGHT © ANTARA 2023