Jakarta (ANTARA) - Pakar media sosial Rulli Nasrullah menilai perlu kesiapsiagaan digital dalam bentuk daya tangkal yang kuat, deteksi dini, dan resistensi untuk mencegah penyebaran paham radikal melalui konten di dunia maya.

"Karena itu membangun kesiapsiagaan digital dalam bentuk: daya tangkal yang kuat, deteksi dini, dan resistensi terhadap konten radikalisme di media sosial sangat penting untuk ditanamkan kepada generasi bangsa," kata Rulli atau Kang Arul melalui keterangannya di Jakarta, Senin.

Dia menjelaskan, kasus penipuan, radikalisme dan terorisme dilakukan dengan pendekatan persuasif, tidak "hard selling", sehingga ketika pengguna sudah merasa nyaman, maka ditanamkan ide, video dan pendekatan secara perlahan.

Setelah itu menurut dia, langkah selanjutnya adalah dimasukkan dalam grup-grup diskusi seperti WhatsApp, Telegram atau layanan pesan yang lain, dan kemudian informasi yang lebih personal.

Kang Arul menekankan bahwa karakter dan tingkat literasi media individu berperan penting untuk menyaring referensi yang dibaca, karena algoritma dalam internet cenderung akan memberikan referensi sesuai dengan apa yang sering dibaca.

"Jika seseorang suka dengan konten konten keras, radikal terorisme dan kebencian maka dengan sendirinya referensi yang muncul akan konten konten sejenis. Namun terkadang, individu itu sendiri yang kurang cakap untuk menyaring filter yang negatif," ujarnya.

Karena itu dia menilai pentingnya komunikasi orang tua kepada anak, adik kepada kakak, atau sesama teman untuk saling mengingatkan dan mendorong penggunaan media sosial dalam hal yang positif.

Menurut dia, komunikasi itu untuk meyakinkan bahwa di media sosial merupakan pasar ide bebas, sehingga bisa mendapatkan banyak hal, mulai dari yang positif dan negatif.

Selain itu dia menilai, kondisi emosional seseorang berperan penting terhadap referensi yang dilihatnya, sehingga terkadang orang yang mengakses media sosial dalam situasi yang tidak normal dengan logika waktu cepat, tidak dapat memfilter atau melakukan verifikasi informasi terhadap orang lain atau media massa.

"Ketika sudah mengakses suatu konten, maka seolah-olah itu adalah informasi yang benar, itu yang membuat maraknya hoaks dan misinformasi. Pulang kerja lelah dan ada masalah, jadi ketika mengakses, emosinya lagi tinggi, dapat dengan situasi seperti itu," ujarnya.

Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu juga mengapresiasi kehadiran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) melalui Duta Damai dan Duta Damai Santri yang tersebar di 18 provinsi.

Menurut dia, langkah ini perlu dikembangkan ke seluruh provinsi Indonesia agar dapat mengisi ruang digital dengan pesan damai dan hal yang positif.

Kang Arul menyampaikan, setiap relawan Duta Damai maupun Duta Santri mampu memberikan aura terhadap teman-teman, keluarga dan lingkungannya sehingga mampu mendukung tiga unsur penting dalam literasi digital.

Ketiga kecakapan digital tersebut adalah pertama, kecakapan dalam penggunaan media digital; kedua, kecakapan dalam budaya digital; dan ketiga, kecakapan dalam keamanan digital.

Baca juga: BNPT: Pemuda dan pelajar jadi target penyebaran radikal terorisme

Baca juga: PBNU: Generasi muda pahami cegah penyebaran narasi keagamaan keliru

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Budi Suyanto
COPYRIGHT © ANTARA 2023