Jakarta (ANTARA News) - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyerankan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi guna memperbaiki neraca perdagangan dan beban defisit primer dalam APBN.

"Indonesia memegang rekor juara harga BBM terendah dan juara subsidi tertinggi. Indonesia adalah negara sosialis nonkomunis," sindir ekonom INDEF Didik J Rachbini dalam jumpa pers "Evaluasi Triwulan INDEF: Interrelasi Ganda dan Inflasi" di Jakarta, Selasa.

Dalam paparan yang disampaikan Eko Listiyanto, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit pada 2012 dan awal 2013 karena tekanan defisit perdagangan migas yang dipicu meningkatnya impor minyak.

Eko mengatakan neraca perdagangan minyak olahan sudah sangat membahayakan dan "lampu merah" karena defisit hingga 24,5 miliar dolar AS. Tingginya impor minyak olahan merupakan implikasi dari menurunnya produksi minyak dalam negeri, sementara konsumsi BBM meningkat.

"Komposisi impor minyak olahan mendominasi total impor migas. Pada 2012, total impor migas sebesar 42,56 miliar dolar sementara impor minyak olahan mencapai 28,68 miliar. Sedangkan pada Januari-Februari 2013, total impor migas sebesar 7,61 miliar dolar sementara impor minyak olahan mencapai 5,07 miliar," tuturnya.

Ekonom INDEF lainnya Prof Ina Primiana mengatakan ada keanehan terhadap tingginya impor minyak olahan. Sebab, pertumbuhan ekonomi Indonesia terbilang tinggi karena menempati urutan kedua Asia, tetapi konsumsi BBM bersubsidi juga meningkat.

"Pertumbuhan ekonomi merupakan bukti pertumbuhan industri. Industri tumbuh, tetapi konsumsi BBM bersubsidi tidak menurun. Itu berarti industri ikut menikmati subsidi BBM," katanya.

Karena itu, Ina menduga upaya pembatasan dan segmentasi terhadap penggunaan BBM bersubsidi yang dilakukan pemerintah tidak efektif dalam mencegah kebocoran subsidi. Sebab, industri yang seharusnya menggunakan BBM nonsubsidi ternyata menggunakan BBM bersubsidi.

Sementara itu, ekonom INDEF lainnya, Enny Sri Hartati mengatakan dari berbagai pilihan kebijakan yang mungkin diambil pemerintah terkait BBM bersubsidi, menaikkan harga merupakan langkah yang paling ideal dan lebih pasti.

"Kenaikan harga BBM bersubsidi pasti akan langsung mengurangi beban subsidi. Secara ekonomi pilihan itu yang paling ideal, tetapi secara politik memang pilihan itu kurang bagus," katanya.

Sedangkan rencana pemerintah untuk menyediakan BBM jenis Premium beroktan 90 bagi kendaraan pribadi dengan harga yang lebih tinggi daripada premium tetapi di bawah Pertamax dia nilai akan sulit diimplementasikan di lapangan.

"Diferensiasi harga harus diikuti dengan pemisahan pasar. Contoh pemisahan pasar adalah pesawat terbang yang hanya menggunakan Avtur sehingga tidak mungkin menggunakan Premium. Namun, pemisahan pasar untuk kendaraan pribadi dan umum sulit dilakukan," katanya.

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2013