Jakarta (ANTARA) - Memaknai hari kemrdekaan, yang secara harfiah bebas dari belenggu, tekanan maupun penjajahan atau kekuasaan, rasanya tidak lengkap jika tidak dikaitkan dengan kata pahlawan.

Tentu banyak sekali pahlawan yang telah berjuang bersama-sama rakyat Indonesia untuk mengumandangkan kemerdekaan, selain dua tokoh bangsa yang kemudian menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, saat itu, yakni Soekarno dan Moh. Hatta.

Di masa pascakemerdekaan, bukan berarti semangat untuk menjaga keutuhan negara luntur begitu saja. Tidak sedikit masyarakat Indonesia yang menjadi pahlawan untuk orang-orang di sekitarnya, melalui peran yang juga beraneka.

Salah satu pahlawan muda tersebut adalah Hanna Keraf, wanita berusia 35 tahun yang menjadi inisiator membangkitkan kembali tradisi menganyam di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, sekaligus memberdayakan perempuan untuk mandiri secara finansial.

Perjalanan pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama untuk perempuan tersebut, dimulai pada 2014.

Hanna yang berdarah Flores, bersama temannya ingin memberi akses peningkatan penghidupan bagi masyarakat setempat, dengan memanfaatkan peluang yang memang sudah ada.

Co-founder dan Chief of Community & Partnership Du Anyam Hanna Keraf. ANTARA/Dokumentasi Pribadi.
Kala itu, wanita dan anak muda, terutama di wilayah timur Indonesia, masih memiliki tantangan dalam mengambil keputusan untuk diri sendiri maupun mengakses pendidikan, memilih pekerjaan dan meningkatkan kapasitas diri akibat sistem sosial patriarki yang masih kuat.

Biaya kebutuhan sehari-hari juga masih menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat desa karena harus menunggu musim panen tiba untuk memperoleh pendapatan. Akibatnya, masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok dengan gizi seimbang yang turut berdampak pada tingginya angka malanutrisi pada anak.

Di sisi lain, Hanna melihat kemampuan turun temurun yang dimiliki para wanita asli NTT, yakni menganyam dapat dijadikan kesempatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.

Berangkat dari latar belakang tersebut, lahirlah Du Anyam, berasal dari kata du’a yang berarti ibu dan anyam yang berarti menganyam.


Memberdayakan perempuan 

Perempuan lulusan Sarjana Bisnis International Universitas Ritsumeikan, Jepang, ini memahami betul upaya pemberdayaan bukanlah hal yang mudah. Ia harus dengan telaten meyakinkan para ibu-ibu di NTT bahwa menganyam bukan hanya sebagai ajang menjaga tradisi, namun dapat menjadi peluang ekonomi dan menjadi pekerjaan alternatif, selain pekerjaan utama yang bersifat musiman, seperti bertani dan berladang.

Perlahan tapi pasti, kegiatan menganyam mulai berkembang dan semakin meluas dampaknya. Para ibu penganyam generasi pertama mulai berbagi kisah dari satu desa ke desa lain. Ibu penganyam lainnya pun turut bergabung dalam kegiatan menganyam dengan kepercayaan bahwa menganyam membuka kesempatan bagi mereka untuk lebih berdaya secara ekonomi, sekaligus melestarikan budaya lokal nenek moyang yang kian pudar.

Suasana pelatihan menganyam kepada pada ibu-ibu pengayam. ANTARA/Dokumentasi Pribadi.
Berawal dari sehelai daun lontar, melahirkan harapan sederhana untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah perdesaan. Hingga kini, Du Anyam telah memberdayakan lebih dari 1.600 perempuan yang berada di lebih dari 54 desa yang tersebar di Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, dan Papua.

Salah satu kunci sukses memberdayakan para penganyam hingga lebih dari 1.600 perempuan tersebut adalah Du Anyam berpegang teguh pada prinsip produk anyaman berbasis adat. Artinya, pola dasar anyaman yang digunakan adalah pola yang sudah dikenal oleh penganyam sejak turun temurun.

Tentu, Du Anyam, sembari terus mengasah keterampilan menganyam yang dimiliki dan dengan pola dasar anyaman yang sudah familier, membuat penganyam tidak merasa terbebani ketika membuat produk.

Dampaknya, para perempuan mampu membuat keputusan dengan mempertimbangkan kesehatan anak dan keluarganya, serta membangun rasa percaya diri untuk melangkah maju dan membuat perubahan dalam kehidupan mereka.

Inisiatif yang serupa juga dilakukan Du Anyam untuk menggali peluang kerja sama anyaman unik dari berbagai daerah, di antaranya adalah anyaman kulit pohon waru di Papua (keranjang Noken) dan anyaman purun dari Kalimantan Selatan.

Dikarenakan menganyam merupakan pekerjaan sampingan, maka sistem pembuatan produk anyaman berdasarkan pesanan yang masuk. Pemilihan penganyam pun ditentukan dari catatan kinerja sebelumnya dari penganyam.

Setiap penganyam memiliki riwayat catatan mengenai keterampilan menganyam yang dimiliki serta produk-produk apa saja yang telah berhasil dibuat. Sehingga, ketika ada pesanan yang masuk, setiap koordinator di masing-masing desa akan memberi penugasan kepada penganyam yang sesuai kriteria.

Pembuatan produk dengan kategori mudah, seperti keranjang dengan diameter 10-15 cm, membutuhkan waktu hitungan jam saja. Sedangkan untuk keranjang diameter besar atau produk yang membutuhkan kualitas presisi tinggi, membuat penganyam harus menghabiskan waktu hingga 5 hari.

Pemasukan ibu-ibu penganyam pun bervariatif, berkisar dari Rp1 juta hingga Rp3 juta per bulan, tergantung banyaknya waktu yang bisa ia luangkan untuk mengerjakan anyaman hingga tingkat kesulitan anyaman.

Hanna, pemilik usaha sosial, menceritakan bahwa sebagai perusahaan berbasis wirausaha sosial, sebenarnya Du Anyam tidak hanya memberdayakan perempuan. Lebih dari itu, turut memberdayakan para lelaki untuk menyediakan bahan baku anyaman, seperti daun lontar. Berkat kerja sama strategis, tidak sedikit para petani lontar yang bisa membeli sepeda motor karena permintaan bahan baku yang konsisten, bahkan cenderung meningkat.

Kontribusi Du Anyam terhadap ekonomi lokal juga turut dirasakan oleh para lelaki yang bekerja sebagai ojek karena diberdayakan untuk mengantarkan bahan baku dari petani hingga sampai ke tangan ibu-ibu penganyam.

Asian Games dan G20

Konsistensi untuk menghadirkan anyaman dengan kualitas tinggi dan pengiriman tepat waktu, membuat Du Anyam mendapat kepercayaan untuk membuat "official merchandise" untuk berbagai acara level internasional, seperti Asian Games 2018 dan G20 Indonesia.

Pada Asian Games 2018 yang berlangsung di Jakarta dan Palembang, Du Anyam menyediakan lebih dari 16.500 produk buatan ibu-ibu penganyam yang tersebar di Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, dan Papua.

Dalam waktu singkat, ribuan penganyam Du Anyam, ditambah ibu-ibu yang telah diberi pelatihan harus mampu menyelesaikan suvenir yang beragam, seperti "cup sleeve", kipas, topi, pembatas buku, dompet, label koper, hingga tas ramah lingkungan.

Aneka official merchandise Asian Games 2018 yang dibuat oleh Du Anyam. ANTARA/Dokumentasi Pribadi.
Produk yang paling cepat habis pada gelaran olahraga 4 tahunan tersebut adalah tas ramah lingkungan, sedangkan produk lain yang juga dicari adalah kipas dan label koper turut menjadi incaran pembeli dari dalam dan luar negeri.

Kemudian pada gelaran G20, di mana Indonesia memegang tongkat estafet Keketuaan, Du Anyam menjadi salah satu UMKM yang terpilih untuk membuat "event merchandise". Produk berkualitas premium yang disiapkan, di antaranya adalah tas laptop, tas ramah lingkungan, tempat kartu, hingga gantungan kartu identitas.

Meski disiapkan dalam waktu singkat, berkat riwayat catatan produksi masing-masing penganyam, Du Anyam membagikan jenis produk sesuai keterampilan penganyam, sehingga mampu menyelesaikan pesanan secara tepat waktu.

Kemerdekaan berarti ketika kita bisa percaya diri untuk memilih apa yang kita inginkan ke depannya, terutama untuk anak muda, karena belum semua generasi muda memiliki kebebasan tersebut. 

Merdeka bagi perempuan ketika dia bisa mengambil keputusan untuk diri dia sendiri. Selama 8 tahun bekerja dengan Du Anyam, terlalu banyak perempuan yang akhirnya menyadari pentingnya mengambil keputusan untuk dia sendiri.
 

Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Masuki M. Astro
COPYRIGHT © ANTARA 2023