Jakarta (ANTARA News) - Pengamat politik Jeffrei  Geovanie mengharapkan penentu figur yang akan menjadi bakal calon presiden di antara peserta konvensi capres partai tertentu di Indonesia adalah pemilih, sehingga figur terpilih bukan hanya terbaik di antara peserta konvensi tapi juga kompetitif dengan calon dari partai-partai lain.

"Sehingga peluang figur terpilih untuk menang di Pilpres 2014 menjadi lebih terbuka," kata board of advisor Center for Strategic and International Studies (CSIS) itu dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Minggu.

Jeffrie membayangkan semua peserta konvensi melakukan sosialisasi terbuka lewat media massa yang punya jangkuan nasional. Selanjutnya menjelang konvensi nasional dibuat survei pemilih secara ilmiah di masing-masing provinsi. Siapa yang mendapat urutan pertama maka dia mengambil seluruh kuota suara di provinsi itu.

"Inilah sistem 'the winner takes all'," kata Jeffrie. Hasilnya kemudian dibawa oleh delegasi provinsi ke konvensi nasional. Delegasi ini hanya membawa hasil survei. Misalnya, kalau di Aceh yang unggul nomor 1 nama A, maka delegasi Aceh mencalonkan A. Kalau di Jawa Timur yang nomor 1 nama B, maka delegasi Jatim mencalonkan B.

Untuk menjamin agar tetap proporsional, kuota suara provinsi ditentukan oleh jumlah pemilih provinsi bersangkutan dibanding pemilih nasional. Aceh misalnya 2 persen, Jatim 16 persen. Kalau total suara di konvensi nanti 100 orang, maka Jatim mengirim 16 orang dengan suara nama B. Aceh 2 orang dengan suara ke nama A.

"Demikian seterusnya. Nanti dihitung siapa yang mendapat suara paling banyak dari semua provinsi itu," katanya.

Pendiri The Indonesian Institute itu menegaskan, cara seperti itu merupakan konvensi baru. "Bukan seperti konvensiPartai Golkar pada 2004 yang dianggap rawan terhadap politik uang, dan bukan pula konvensi seperti di Amerika Serikat yang bersandar pada primary (pemilihan awal)," ujar Jeffrei.

Menurut Jeffrie, cara Amerika Serikat (primary) tidak cocok untuk Indonesia, karena, pertama primary umumnya tertutup. Pemilih yang ikut primary umumnya hanya anggota partai yang bersangkutan. Kalau primary Partai Republik AS maka anggota Partai Demokrat AS tidak boleh ikut. Hasilnya pasti tidak mencerminkan aspirasi pemilih nasional.

"Sementara jika survei nasional yang menjadi basis dalam mengambil keputusan, maka calon yang ditetapkan akan sangat mencerminkan aspirasi pemilih nasional. Kalau ini yang terjadi, Partai Demokrat membuat inovasi politik besar, dan baru. Bukan hanya dalam politik Indonesia tapi juga di dunia. Konvensi Nasional Berbasis Pemilih Nasional sebagaimana direkam secara ilmiah lewat survei adalah gagasan baru dan efisien," katanya.

Mengenai banyaknya kalangan yang menyangsikan kredibilitas lembaga survei, Jeffrie tidak menampik memang ada lembaga yang kredibel dan ada yang tidak. Mengenai hal ini, menurut Jeffrie bisa dilihat dari 'track recordnya' dalam survei Pilpres-Pilpres sebelumnya.

Tentang kemungkinan di balik ide konvensi capres, ada dugaan upaya untuk mendongkrak suara Partai Demokrat, Jeffrie tidak mempersoalkannya. "Kalau punya tujuan itu, saya kira itu normal saja," katanya.

Tapi, menurut Jeffrie, melalui sistem konvensi capres, maka masyrakat juga mendapat sesuatu dari itu, yaitu adanya  peluang bagi regenerasi kepemimpinan nasional, bagi pemimpin yang lebih sejalan dengan perkembangan masyarakat dan zaman.(*)

Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2013