Kendari (ANTARA News) - Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Tarman Azzam menyatakan, kebebasan pers dan pemberlakuan desentralisasi yang luas melalui otonomi daerah merupakan dua hal yang tidak dapat ditarik atau dibatalkan pelaksanaannya. Karena kedua fenomena itu sama seperti tuntutan demokratisasi, transparansi dan akuntabilitas berlandaskan penghormatan kepada hak azasi manusia (HAM) yang merupakan elemen utama dari proses liberalisasi di Indonesia yang menjadi hasil utama dari era reformasi. Tarman Azzam menyatakan hal itu saat mengukuhkan PWI Perwakilan Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), sekaligus Perwakilan PWI ke-200 di Indonesia serta tampil menjadi pembicara utama pada dialog publik dan bimbingan teknis jurnalistik di Kolaka, Sabtu. Bintek jurnalistik diikuti kalangan pers, LSM, aparat pemerintah daerah, TNI, Polri, organisasi pemuda dan lainnya. Pada era reformasi ini, lanjutnya, terjadi perubahan yang mendasar dalam hal proses demokrasi, otonomi daerah dan kebebasan pers, namun yang harus difahami bahwa pada dasarnya segala perubahan nilai-nilai nasional tersebut harus diabdikan kepada publik, tetapi realitas menunjukkan lahirnya berbagai kemelut baru yang hingga kini masih berproses. Inti dari segala kehendak perubahan sistem nasional tersebut adalah bagaimana agar semua upaya nasional, termasuk lahirnya pemerintahan reformis dan kebebasan pers harus diabdikan kepada kepentingan publik. Kepada rakyat itulah semua harus mengabdi, rakyat harus dilayani, rakyat menjadi pemegang kedaulatan tertinggi, kata Tarman Azzam. Namun celakanya, dalam suasana demikian, para wakil-wakil rakyat yang duduk di badan-badan perwakilan rakyat menjadi sangat berkuasa, sehingga "balance of power" tetap tidak tercipta karena pendulum kekuasaan lebih besar kepada parlemen. Tarman mengutip Walter Lippman (AS) yang menyatakan bahwa pemerintah produk demokrasi yang harus melayani rakyat, namun bisa saja dia melenceng sehingga harus dikontrol oleh produk demokrasi lain yakni parlemen, tetapi keduanya bisa saja tidak harmonis, tidak mampu bekerjasama dan dapat merugikan rakyat, sehingga keduanya harus dikontrol oleh alat demokrasi yang bernama pers. Berdasarkan itu, maka pers nasional dengan paradigma kebebasan pers yang profesional seperti yang ditegaskan dalam UU No.40/1999 tentang pers, harus diabdikan bagi kepentingan rakyat Indonesia.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2006