Jakarta (ANTARA) - Di sebuah gang menanjak yang membelah Cibinong, satu bangunan kecil berdiri di antara deretan rumah lainnya. Warna hijaunya yang mengingatkan pada stabilo mencuri perhatian orang yang lewat.

Sejumlah motor dijejerkan di pelataran bangunan itu. Pintu kayu bangunan itu terbuka lebar, dari dalamnya semerbak wangi peyek tercium sampai ke jalanan.

Sebuah rak besi terletak di sudut ruangan pertama bangunan itu. Berbagai kemasan dengan jenis dan ukuran yang berbeda dipampang di situ. Deretan paling atas diisi beberapa boks serta lusinan toples, ada juga toples yang umumnya untuk menyimpan kerupuk, dengan motif batik di setiap sisinya. Deretan kedua dipenuhi kemasan plastik, kemudian di deretan ketiga ada toples-toples yang berukuran lebih besar.

Masih di ruangan yang sama, ada beberapa sertifikat yang dipajang. Penghargaan, sertifikasi UMKM, pelatihan, cap halal, terpasang rapi di satu sisi dindingnya. Sebuah meja besar serta dua kursi untuk menerima tamu tersusun rapi, memakan sebagian besar tempat di ruangan itu

Di bangunan inilah sepasang suami dan istri menjalankan bisnis rempeyeknya, "Rempeyek Syahna", yang perlahan-lahan mulai dikenal dunia.

Eko Pusbiantari, otak di balik bisnis tersebut, menceritakan jejak perjuangannya membangun usaha makanan itu, hingga akhirnya bisa sampai ekspor ke luar negeri.

Dulu, dia menjalankan bisnis katering untuk sekolah-sekolah. Namun, semenjak COVID-19 melanda pada tahun 2020, usahanya mulai kesulitan. Di tengah tantangan seperti itulah ide briliannya muncul.

"Karena pembelajarannya sudah online ya, maka jadi banting setir. Apa lagi yang sekiranya bisa jadi cuan? Di saat-saat COVID orang lagi stay di rumah, enggak bisa ke mana-mana, akhirnya punya ide itu. ‘Coba kita bikin cemilan yang bisa buat lauk plus buat ngemil, pasti orang bakal jarang ada yang keluar rumah’,” kata Eko kemudian tersenyum sumringah mengingat awal-awal masa itu.

Awalnya, dia hanya mempromosikan rempeyek buatannya ke tetangga sekitarnya. Merasa tertarik kepada barang jualannya, mereka pun membelinya lagi dan lagi.

Eko juga berusaha memasarkannya melalui media sosial. Berbagai platform, seperti Instagram, Facebook, dan WhatsApp, bahkan Google Ads, dia jajal guna memperkenalkan kreasinya kepada dunia. Netizen banyak yang bertanya-tanya soal produk itu, seperti tentang harga, serta cara pengirimannya.

"Jadi beli atau nggaknya belakangan," katanya.

Lambat laun, bisnisnya pun mulai berkembang. "Rempeyek Syahna" mendapatkan perpanjangan tangan di Jabodetabek, melalui sejumlah reseller yang tersebar di wilayah megapolitan itu.

Baca juga: Kominfo pastikan beri dukungan UMKM tingkatkan literasi digital

Baca juga: Menkeu dorong UMKM Indonesia penetrasi pasar internasional



Bermula pesanan dari Hong Kong

Suatu hari, di awal 2021, seorang pelanggan memesan rempeyeknya, namun meminta untuk dikirimkan ke Hong Kong.

Karena ada kekhawatiran soal rempeyek itu, seperti apabila rempeyek itu hancur, maka Eko pun menawarkan berbagai pilihan bagi si pelanggan, salah satunya rempeyek berbentuk brittle, yang sekilas mirip cookies. Pelanggan itu mengiyakan, bahkan menanggung seluruh biaya pengiriman dari Indonesia ke Hong Kong.

"Ternyata di sana itu mau di-drop di pusat oleh-oleh Indonesia,” ujarnya. Harganya pun dijual berkali-kali lipat dibandingkan yang di Tanah Air.

Produknya pernah dipajang di West Mall Singapore bersama produk-produk UMKM lainnya, yang telah lolos kurasi mengalahkan segudang produk UMKM lainnya.

Dalam waktu dekat, katanya, mereka akan mengirimkan produknya, sebanyak 30 toples ukuran 5 liter, ke Uni Emirat Arab. Setelah ditanya-tanya, ternyata pihak yang meminta pengiriman rempeyek itu mengetahui tentang produknya dari Instagram.

Eko berjuang agar rempeyeknya bisa diekspor ke seluruh penjuru dunia. Dia gigih mengirimkan e-mail ke KBRI di berbagai belahan dunia agar terbuka lebar pintu baginya untuk memperkenalkan rempeyek ke komunitas global. Sikap pantang menyerahnya itu berbuah manis, karena kini dia mendapatkan omzet sebesar hampir Rp15 juta per bulannya.

Baca juga: Indonesia bidik nilai tambah bagi UMKM dalam pembaruan AANZFTA

Baca juga: Gernas BBI gaet e-commerce suarakan pembelian produk dalam negeri

Ibu-ibu pecinta warna hijau itu berharap pemerintah memberikan lebih banyak dukungan, seperti pelatihan serta kurasi, agar UMKM-nya bisa semakin berkembang, karena menurutnya, mereka tidak bisa berjalan sendirian.

Dodi, suami Eko, bercerita bahwa produk mereka, yang dipajang di salah satu stan dalam rangka penyambutan tamu negara KTT ASEAN 2023, ludes habis diborong oleh para delegasi dari Malaysia.

Seorang atase perdagangan dari Turki salut akan semangat mereka untuk bisa go international, akan tetapi, atase itu mengingatkan bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, ujar Dodi. Hal-hal itu adalah peluang pasar, kebiasaan makan atau pengolahan makanan, diaspora Indonesia yang ada di negara tujuan ekspor, serta jarak. Atase itu pun menyarankan, apabila mau ekspor, maka carilah negara yang punya kesamaan kultur dengan Indonesia.

Dia selalu menjalankan usahanya dengan konsistensi serta optimisme yang membuncah. Dodi pun sering mengingatkan istrinya agar selalu mengutamakan bahkan meningkatkan kualitas, mengingat makanan adalah sesuatu yang sensitif, yang dikonsumsi oleh manusia.

Baca juga: UMKM Indonesia ramaikan "Harbolnas" ASEAN 2023

Cerita dari sepasang suami istri itu adalah satu dari banyak cerita sejenis lainnya, tentang UMKM yang memasuki pasar internasional. Di Indonesia sendiri, ada sekitar 65 juta UMKM.

Dikutip dari laman SMEsta Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, sejumlah bantuan yang diberikan pemerintah untuk mengembangkan UMKM antara lain Kredit Usaha Rakyat, Program Pemulihan Ekonomi Nasional, serta Banpres Produktif. Akan tetapi, program-program yang sifatnya penyaluran dana dirasa perlu ditingkatkan.

Manajer Kemitraan dan Advokasi Bisnis UKM Center FEB UI Muhammad Miqdad Robbani mengatakan bahwa pemerintah perlu memperhatikan aspek peningkatan penjualan bila ingin membantu para pelaku UMKM secara lebih baik.

“Pemerintah berusaha membantu usaha mikro kecil menengah dengan meringankan biaya. Mungkin dengan memberikan pembiayaan yang murah, mendorong suplai yang lebih efisien, dan seterusnya. Cuma memang belum banyak program-program yang fokus pada sisi peningkatan permintaan, atau mungkin peningkatan penjualan. Artinya apa? Produk-produk UMKM ini masih seperti orang asing di negerinya sendiri,” kata Miqdad.

Menurutnya, pemerintah sering kali lebih fokus pada pembiayaan-pembiayaan karena lebih mudah diukur dan dipamerkan. Dia pun menyarankan pemerintah untuk membuat lebih banyak program yang benar-benar dibutuhkan UMKM, yang bisa membantu mereka memasuki pasar internasional serta bersaing di dunia digital.

“Pemerintah sedang mencoba, contoh dengan kegiatan Bangga Buatan Indonesia, lalu campaign-campaign lain yang tujuannya memang mendorong masyarakat untuk mengonsumsi produk lokal. Tapi belum cukup ada program-program yang benar-benar bisa meningkatkan kemampuan penjualan para UMKM,” dia menambahkan.

Indonesia masih memiliki sejumlah PR untuk membantu para pelaku UMKM —yang mendominasi unit-unit usaha di Tanah Air— dalam memperkenalkan produk-produknya ke dunia. Sebagai penyelamat ekonomi di kala COVID-19 menindas, sudah sepantasnya mereka mendapat perhatian dan cinta yang lebih dari negerinya sendiri dan diangkat derajatnya sebaik-baiknya.

Bisnis rempeyek asal Cibinong itu bisa menjadi salah satu motivasi bagi para UMKM lain di Indonesia untuk tidak mudah menyerah dan terus mencari peluang, dan bantuan-bantuan pemerintah akan semakin mendorong mereka go international.

Baca juga: Akumindo sebut posisi tekfin tepat untuk dukung UMKM berkembang

Baca juga: UI lakukan pendampingan UMKM untuk membuat laporan keuangan

Baca juga: BRI hadirkan 150 UMKM binaan dalam pesta rakyat di Jawa TImur

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2023