Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah pakar masalah internasional Indonesia mengemukakan Amerika Serikat harus meninggalkan kebijakan bias atau berstandar ganda untuk memperbaiki citra negara adidaya itu, khususnya di kalangan negara muslim. "Contohnya, AS harus menyadari bahwa kedekatannya yang berlebihan dengan Israel selama ini tidak berhasil membawa solusi perdamaian yang bertahan lama di kawasan Timur Tengah. Ini tentu saja memengaruhi persepsi rakyat muslim sedunia terhadap AS," kata Ketua Departemen Hubungan Internasional FISIP UI Hariyadi Wiryawan, PhD di Depok, Selasa. Selain itu, AS juga harus menyadari bahwa nilai-nilai yang sering didengungkan oleh negara adidaya tersebut, seperti demokrasi dan HAM, harus sejalan dengan kebijakan-kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah AS. Menurut Hariyadi, bagaimana mungkin AS dapat menyebarkan nilai-nilai itu sementara dunia melihat bagaimana akibat yang ditimbulkan oleh operasi militer AS terhadap rakyat Irak. Lelaki yang mendapat gelar PhD dari Jawaharlal Nehru University di India itu juga menyorot bagaimana proses pemilihan umum yang berjalan demokratis di beberapa negara ternyata membuat AS mengeluarkan komentar negatif kepada para pemenang. Hariyadi mencontohkan HAMAS, yang meraih kemenangan di pemilu Palestina secara demokratis, ternyata tetap dijuluki teroris oleh AS. Begitu pula dengan figur-figur dari Amerika Latin seperti Evo Morales dari Bolivia, yang meski menang secara demokratis masih diberikan stigma negatif. Menurut dia, dalam pandangan realis wajar jika AS menganggap dirinya sebagai polisi dunia. Hal ini karena setelah perang dingin berakhir, praktis hanya AS yang menjadi kekuatan adidaya di dunia dan unggul dalam berbagai bidang misalnya persenjataan. Namun, berdasarkan pandangan idealis, AS juga harus menyadari bahwa mereka tidak hidup sendirian di dunia ini. Terdapat beragam nilai yang selayaknya mereka hormati. Oleh karena itu, Haryadi menyarankan, setidaknya setiap tanggal 4 Juli, hari kemerdekaan AS, AS harus diingatkan akan nilai kesetaraan dan kemanusiaan yang menjadi nilai-nilai fondasi kebangsaan yang ditawarkan oleh para pendiri negara tersebut. Selain itu, lelaki yang telah belasan tahun mengajar di UI itu mengemukakan, karena pemerintahannya dikuasai oleh kaum neokonservatif, AS sangat sensitif akan munculnya kembali kekuatan baru yang dapat mengimbangi mereka layaknya Uni Sovyet di era Perang Dingin. Saat ini, kekuatan yang berpotensi untuk mengimbangi AS adalah Cina. Untuk mengatasinya, menurut Hariyadi, AS menerapkan taktik `encirclement policy` (kebijakan melingkar), yaitu dengan menekan negara-negara di sekitar Cina yang memiliki kedekatan dengan negara tirai bambu itu. Haryadi mengungkapkan, bahwa tekanan politik yang dilakukan AS terhadap Korea Utara, Myanmar, dan Iran, sebenarnya juga bertujuan untuk melemahkan Cina yang menjadi "teman" bagi ketiga negara itu. Akibatnya, Cina tidak bisa mengalami percepatan yang dapat membuatnya menjadi kekuatan adidaya baru yang mengimbangi AS.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2006