Jakarta (ANTARA News) - Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menegaskan penjatuhan hukuman mati tidak ada hubungannya dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). "Hukuman mati tidak ada hubungannya dengan HAM. Segala bentuk hukuman pada dasarnya melanggar hak asasi orang. Penjara seumur hidup juga merampas hak asasi," kata Jaksa Agung dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat. Pro kontra pidana mati sudah berlangsung sedari dulu baik dalam skala nasional maupun internasional. Sebagian orang menilai pidana mati bertentangan dengan HAM. Menurut Jaksa Agung, pemidanaan dijatuhkan dengan melihat tindak pidana atau perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Terhadap putusan mati, kata Abdul Rahman, terdakwa memiliki hak untuk melakukan upaya hukum lanjutan yaitu banding, kasasi, grasi hingga peninjauan kembali (PK). Dalam praktiknya, kata dia, beberapa terdakwa mengajukan PK hingga dua kali padahal dalam undang-undang hanya diperkenankan satu kali. Deemikian juga dalam pengajuan grasi ada yang mencapai tiga kali sementara dalam peraturan hanya diperbolehkan dua kali. "Kalau orang tidak bersalah, lalu dipenjara tanpa diadili, atau ditembak petrus (penembak misterius-Red), itu baru melanggar hak asasi," kata Arman -demikian Jaksa Agung biasa disapa.- "Tapi, kalau orang diadili, lalu (melakukan) banding, kasasi, PK hingga grasi, itu jalur hukum," kata Jaksa Agung. Saat ini, tercatat di seluruh Indonesia terdapat 92 terpidana mati dari berbagai jenis tindak pidana seperti pembunuhan, narkotika serta terorisme. Dari jumlah 92 itu, 35 di antaranya telah berkekuatan hukum tetap namun belum dieksekusi, termasuk 16 terpidana mati kasus narkotika. Sementara tujuh lainnya sedang melakukan banding, 11 orang dalam proses kasasi, 15 terpidana dalam pengajuan PK, 20 terpidana menunggu grasi, dan empat di antaranya melarikan diri dan dalam pencarian pihak berwajib.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2006