Jakarta (ANTARA News) - Presiden Barack Obama dan Partai Demokrat dianggap mengutamakan pendekatan "soft-power" dalam aktivitas hubungan luar negeri dengan negara-negara lain, termasuk untuk Venezuela, menurut pengamat hubungan internasional Makarim Wibisono.

Berkaitan dengan Venezuela, yang di bawah pemerintahan baru Presiden Nicolas Maduro tetap mengambil sikap konfrontasi terhadap AS, Makarim memperkirakan Obama akan mengambil model hubungan luar negeri tanpa membentuk konfrontasi besar-besaran.

"Selain AS sebagai `pendekar demokrasi` yang harus menghargai proses pemilihan di Venezuela, garis pemikiran Obama dan Partai Demokrat dalam hal hubungan luar negeri dengan negara-negara Amerika Latin itu ingin supaya terjadi kemitraan bukan bentuk konfrontasi yang besar," ujar Makarim saat dihubungi dari Jakarta, Kamis.

"Garis pemikiran Partai Demokrat dan Obama lebih pada penyelesaian secara damai atau penggunaan `soft-power` dalam hubungan diplomatik internasional," kata dia menambahkan.

Makarim menyebut AS semenjak dipimpin Obama sudah mengambil inisiatif mengadakan pendekatan dengan Kuba, Iran dan beberapa pihak yang sebelumnya dikenal sangat jauh dari negara Paman Sam tersebut.

Meski demikian, Makarim meyakini bahwa langkah yang diambil Maduro bersama pemerintahan baru juga berperan besar dalam menentukan kelangsungan hubungan Venezuela dengan AS.

"Saya rasa (hubungan Venezuela-AS) banyak bergantung juga dengan bagaimana sikap Venezuela, mengingat terpilihnya Maduro itu kan kehendak rakyat," ujar dia.

Ia juga mengingatkan bahwa Maduro, meskipun dikenal sebagai anak didik dan penerus Hugo Chavez, belum tentu akan mengikuti langkah gurunya secara konstan.

Kenaikan tokoh kekiri-kirian atau dari Partai Buruh di negara Amerika Latin, kerap kali dianggap akan mengarahkan negaranya berkonfrontasi dengan AS, akan tetapi hal itu tidak terbukti di dua negara yaitu kala Presiden Luiz Inacio Lula da Silva terpilih di Brazil dan Presiden Raul Castro di Cuba.

Lula, menurut Makarim lebih memilih untuk menguatkan pondasi ekonomi, sementara Raul lebih terbuka dalam melangsungkan hubungan luar negeri ketimbang saudara tuanya Fidel Castro.

"Jadi bagaimana kelanjutan hubungan kedua negara tersebut (AS dan Venezuela) tergantung juga pada bagaimana kebijakan yang akan dijalankan Maduro, tanpa serta merta melihat asal Maduro dari mana atau anak didik siapa," ujar dia.

Semenjak 2010 AS dan Venezuela tidak memiliki duta besar untuk sebagai perwakilan bagi satu sama lain, karena hubungan kedua negara itu terganggu semenjak Caracas menuding Washington mendukung satu kudeta yang secara singkat menggulingkan Chavez, yang telah wafat beberapa bulan lalu.

Presiden Nicola Maduro, mantan wakil presiden semasa Chavez, mengambil sikap konfrontasi dengan pemerintah AS semenjak terpilih pada 14 April. Di sisi lain, Presiden Barack Obama juga tidak mengucapkan selamat atas terpilihnya Maduro, dan sempat mendorong penghitungan ulang kertas suara, yang hasilnya tetap memenangkan Maduro.

"Saya pikir pandangan kami secara umum menyerahkan sepenuhnya kepada rakyat Venezuela untuk memilih pemimpinnya melalui pemilu yang terlegitimasi. Pendekatan kami ke seluruh belahan bumi ini tidak dalam konteks ideologis," kata Obama pada awal bulan lalu kala menghadiri pertemuan dengan para pemimpin Amerika Tengah di Kosta Rika.

Akan tetapi, Menteri Luar Negeri Elias Jua pada pekan lalu, Senin (20/5) mengatakan pemerintahan baru bersiap-siap menormalisasi hubungan dengan AS, memulai dengan penempatan kembali duta besar Venezuela ke Washington.

Meskipun hubungan kedua negara tidak pernah mesra, Venezuela menjual sekitar 900 ribu barrel minyak setiap harinya ke AS. (G006/M014)

Pewarta: Gilang Galiartha
Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2013