Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo menyatakan bahwa perlu ada diagnosis angka kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi atau unmet need yang terukur dengan jelas.

Berdasarkan hasil Indikator Kinerja Utama (IKU) BKKBN tahun 2022, angka unmet need di Indonesia masih tinggi, yakni 14,7, sedangkan target seharusnya yakni 8, karena unmet need yang masih tinggi juga turut mempengaruhi tingginya angka stunting.

"Tegakkan diagnosis dulu, mengapa unmet need naik, kalau sudah tahu mengapa naik, baru kita mencari solusinya agar tidak bingung dan salah, jadi cara mendiagnosis unmet need ini juga harus didiskusikan," kata Hasto dalam pembukaan peningkatan program KB pascapersalinan dan penurunan unmet need secara daring di Jakarta, Senin malam.

Ia menjelaskan, penghitungan unmet need selama ini selalu dilakukan melalui Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), karena SDKI adalah satu indikator yang variabel-variabelnya diakui secara internasional oleh Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO.

"Namun, SDKI terakhir itu tahun 2017, sehingga ketika SDKI tidak ada, kita kemudian menghitung dengan proyeksi-proyeksi dengan indikator-indikator yang jauh berbeda dengan SDKI, misalnya dengan Pendataan Keluarga (PK) atau Survei Kinerja dan Akuntabilitas Program (SKAP)," ujar dia.

Baca juga: BKKBN: Kebutuhan KB tak terpenuhi di Bali tinggi
Baca juga: BKKBN-JHPIEGO dorong KB pasca persalinan jadi mata kuliah kebidanan


Dalam PK dan SKAP tersebut, menurut Hasto, belum ada variabel-variabel secara rinci seperti yang ada pada SDKI sebelumnya.

"Kalau dilihat secara rinci, variabel dan syarat utama untuk menghitung unmet need itu fecundity atau fertility (kesuburan). Dalam SKAP dan PK, itu tidak ada, aktivitas seksual juga tidak ada. Jadi ibaratnya, kita tidak mendiagnosis penyakitnya dengan baik," ucapnya.

Untuk itu, ia berpesan, dalam pelatihan yang akan diselenggarakan selama empat hari, mulai 17-20 Oktober 2023, dapat mengurai penyebab meningkatnya unmet need secara lebih tajam dan mendasar.

"Harapan saya jangan hanya diskusi, tetapi ada juga konklusi, yang dieksekusi, kemudian menjadi instruksi yang dilaksanakan di bawah. Harus ada hasil yang mengubah suatu sistem, dan berdampak kepada masyarakat," tuturnya.

Baca juga: BKKBN: Target unmet need dan kontrasepsi belum tercapai akibat pandemi
Baca juga: BKKBN: Kebutuhan KB tak terpenuhi di Bali tinggi meski TFR rendah


Hasto juga menyebutkan, saat ini mayoritas 90 persen ibu sudah melahirkan di fasilitas kesehatan (faskes), sehingga dapat dimanfaatkan untuk menyosialisasikan program KB secara lebih masif dan memberikan beberapa alternatif program-program KB yang bisa digunakan oleh ibu setelah melahirkan.

"Faskes-faskes ini kan sekarang sudah dipermudah untuk mendapatkan alat kontrasepsi, dan semua yang pulang melahirkan dari faskes ini tentu diberikan konseling, sudah ada Pelayanan KB di Rumah Sakit (PKBRS)," ucap dia.

"Kalau dia (ibu pascapersalinan) belum bersedia program Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP), berikanlah pil atau progresteron mini pil, yang tidak mengganggu air susu, atau kondom, dan catatlah di dalam suatu daftar sebagai peserta kontrasepsi yang tidak mengganggu ASI, sehingga terpantau dengan baik," imbuhnya.

Ia berharap melalui pelatihan ini dapat membuahkan hasil yang dapat menciptakan suatu sistem ber-KB yang terbangun dengan baik.

"Harapan saya, melalui lokakarya ini, dapat terbangun sistem yang baik, mungkin di akhir lokakarya nanti bisa tanda tangan kesepakatan dengan 514 kabupaten/kota agar faskes-faskes di wilayahnya sepakat untuk memberikan kontrasepsi pada pasien-pasien pascapersalinan, selemah-lemahnya kondom atau pil," demikian Hasto Wardoyo.

Baca juga: BKKBN perpanjang waktu pemenuhan target 1,5 juta akseptor kontrasepsi
Baca juga: Tekan kematian, BKKBN serukan penggunaan kontrasepsi jangka panjang
Baca juga: Kepala BKKBN sebut KB vasektomi pria penting untuk kesehatan istri

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Budhi Santoso
COPYRIGHT © ANTARA 2023