Jakarta (ANTARA News) - Alkisah, ada seorang anak kecil berjenis kelamin perempuan yang diculik dari Pulau Pari.

Bertahun-tahun kemudian, anak tersebut ditemukan di sebuah pantai yang berada di Selatan dari Pulau Pari, Kepulauan Seribu.

Anak yang sudah menjadi seorang gadis perawan tersebut muncul kembali bukan sebagai gadis sebenarnya.
Hanya sekelebat bayangan gadis perawan yang kerap muncul di pinggir pantai.

Awal cerita "horor" tersebutlah yang membuat pantai tersebut pada tahun 2010 dinamai Pantai Pasir Perawan.

Mulanya, pantai tersebut bernama Pantai Mainun karena pemilik pantai tersebut bernama Pak Mainun.

Menurut Lurah Pulau Pari, Astawan, perubahan nama tersebut dilakukan bukan tanpa sebab.

Nama diganti untuk menarik minat pengunjung, baik lokal maupun luar negeri.

"Kalau di Pulau Tidung ada jembatan cinta, kami pun mencari cara untuk memberi nama yang unik pada pantai kami," katanya di Kepulauan Seribu, Sabtu.

Tidak hanya namanya yang unik, pantai ini juga "dilengkapi" dengan pasir putih dengan butiran halus serta pantai dengan ombak yang tenang.

"Jadi aman untuk liburan keluarga," katanya.

Astawan memastikan bahwa pantai tersebut sangat aman terutama untuk keluarga yang membawa serta anak mereka.

Sekitar 600 meter dari bibir pantai, terdapat beberapa gugusan gosong.

"Gosong tersebut berguna untuk menghalau ombak. Jadi kemungkinan terseret ombaknya kecil," katanya.

Tidak hanya keindahan pantainya saja, Astawan menyebutkan daerah pimpinannya tersebut juga terkenal dengan wisata kulinernya berupa olahan rumput laut seperti dodol rumput laut dan manisan rumput laut.

Sebagian besar penghuni Pulau Pari merupakan petani rumput laut. Rumput laut yang berasal dari Pulau Pari ini, dilakukan seluruhnya oleh warga.

Mulai dari pembibitan hingga rumput laut menjadi bersih dan siap diolah. "Selain itu, wisata di tempat kami pun sudah terorganisir," kata Astawan.

Dia membuktikannya dengan mengatakan bahwa di Pulau Pari terdapat sebuah komunitas pemuda yang memang ditugaskan untuk mengatur mengenai tarif guest house, penyewaan sepeda, serta penyewaan alat-alat menyelam dan snorkling.

"Kami membentuk Forum Pemuda Wisata Pesisir atau Forsir," katanya.

Tak hanya itu, untuk mendongkrak wisatawan, Astawan menyebutkan bahwa dia sedang mengurangi pengguna sepeda motor di wilayahnya.

Hal tersebut berguna untuk menjaga lingkungan Pulau Pari agar tidak tercemar. "Sekarang sudah 30 motor. Saya ingin merubah pengguna motor ke sepeda," katanya.

Meski sudah banyak yang diusahakan, Astawan menyebut tanpa dukungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, sektor pariwisata Kepulauan Seribu pun tak akan maju.

Dia juga berharap agar Pemprov DKI memberikan perhatian lebih kepada 'anak pulau' Jakarta.

Dukungan yang menurutnya paling penting adalah ketersediaan alat transportasi dari dan menuju pulau-pulau.

Hingga kini, warga pulau, sebutan untuk para penghuni Kepulauan Seribu, hanya menggunakan dermaga yang ada di Kali Adem, Muara Angke dengan biaya Rp42 ribu/perjalanan.

"Sekarang kan baru ada dua keberangkatan. Inginnya juga ditambah," katanya.

Tak hanya itu, pembekalan sumber daya manusia seperti pemandu wisata, pemandu menyelam serta snorkling pun kurang memadai.

"Alangkah baiknya jika ada pembekalan," katanya.

Sumber daya alam yang tersedia, pemandangan yang menakjubkan tak cukup untuk memajukan wisata di Kepulauan yang letaknya satu hingga dua jam dari pesisir Jakarta dengan menggunakan kapal.

Pewarta: Deny Yuliansari
Editor: Aditia Maruli Radja
COPYRIGHT © ANTARA 2013