Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi IX DPR RI dari Provinsi Sulawesi Selatan Aliyah Mustika Ilham menyatakan bahwa pernikahan dini menjadi salah satu faktor penyebab stunting dan dapat mengancam Indonesia dalam mewujudkan Generasi Emas 2045.  

"Salah satu penyebab stunting adalah pernikahan dini, dimana anak yang menikah di usia muda, baik secara mental maupun fisik berpotensi melahirkan anak stunting, ditambah lagi jika ekonomi keluarga belum siap," kata Aliyah dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat.  

Aliyah menegaskan, akan sulit bagi pasangan muda untuk memenuhi kebutuhan gizi pertumbuhan dan perkembangan anaknya, untuk itu ia menekankan perlunya sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam upaya penurunan stunting, baik yang berkaitan dengan faktor sensitif maupun spesifik.  

Ia juga mendorong agar setiap remaja memperhatikan usia ideal menikah, dimana perempuan 21 tahun dan laki-laki 25 tahun.  

"Di usia ini, pasangan telah siap secara mental dan fisik untuk menjadi orang tua, siap hamil dan melahirkan, serta bisa merawat dan memberikan gizi yang baik untuk tumbuh kembang anak secara baik dan benar," ujar dia.  

Ia berpesan, agar kondisi gagal tumbuh pada anak akibat kekurangan gizi kronis bisa dihindari, maka membutuhkan perhatian khusus utamanya pada periode 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yakni saat janin dalam rahim hingga bayi berusia 2 tahun.

Sementara itu, Kepala Perwakilan BKKBN Sulawesi Selatan, Shodiqin, menyoroti angka prevalensi stunting berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) yang masih tinggi dan di bawah standar Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO.

"Data SSGI tahun 2022, angka prevalensi stunting Sulawesi Selatan 27,2 persen. Angka ini masih di atas nasional yaitu 21,6 persen, sedangkan batas standar angka stunting suatu negara yang ditetapkan WHO adalah 20 persen," ucap Shodiqin.

Menurutnya, menurunkan stunting menjadi tugas bersama dan BKKBN tentu tidak dapat bekerja sendiri.

"Untuk mempercepat penurunannya, BKKBN tidak dapat bekerja sendiri. Dibutuhkan dukungan dan komitmen berbagai pihak, baik faktor sensitif maupun spesifik. Lewat koordinasi dan konvergensi yang terbangun, kita berharap target 14 persen stunting di 2024 bisa kita capai," katanya.

Lebih lanjut, ia menyebutkan strategi penurunan stunting yang dilakukan BKKBN yaitu pencegahan lahirnya stunting baru dengan melakukan pendampingan kepada kelompok berisiko stunting, yaitu remaja sebagai calon pengantin, ibu hamil, ibu menyusui, dan baduta (bayi di bawah dua tahun).

"Kunci penurunan stunting adalah pencegahan lahirnya stunting baru. Untuk itu, BKKBN melalui perannya terus mendorong agar setiap pasangan usia subur mengatur kelahiran anak dengan ber-KB," tuturnya.

Dengan mengatur kelahiran anak, imbuhnya, keluarga akan memiliki banyak waktu dan kesempatan untuk memaksimalkan pengasuhan anak, ASI eksklusif bisa maksimal diberikan, dan kesehatan ibu juga bisa meningkat.

"Pasangan mesti memahami pentingnya menghindari kehamilan berisiko, yaitu terlalu muda atau melahirkan di bawah 20 tahun, terlalu tua, melahirkan di atas 35 tahun, dan terlalu rapat atau melahirkan di bawah 3 tahun, dan terlalu sering melahirkan," kata dia.

Ia juga menegaskan pentingnya data yang akurat agar intervensi kegiatan dan kebijakan penanganan stunting dapat menyasar kelompok berisiko dengan tepat.

Dua data yang dapat digunakan untuk menyasar anak stunting dengan tepat bisa dilihat melalui data elektronik pencatatan dan pelaporan gizi berbasis masyarakat (e-PPGBM) yang menyajikan data by bame by address dan data keluarga berisiko stunting hasil pendataan keluarga.

Baca juga: Komisi IX DPR: Cegah stunting dengan membangun keluarga berkualitas

Baca juga: Anggota DPR RI ajak masyarakat pahami stunting agar mudah dicegah

Baca juga: Anggota DPR paparkan empat rumus bangun keluarga terhindar stunting






 

Pewarta: Lintang Budiyanti Prameswari
Editor: Nurul Hayat
COPYRIGHT © ANTARA 2023