Jakarta (ANTARA News) - Penentuan gagal bayar (default) obligor BLBI ternyata tidak perlu mendapatkan putusan pengadilan, padahal penetapan itu diperlukan untuk menentukan apakah APU reformulasi bisa dijadikan acuan untuk menentukan bagaimana penyelesaian utang dilakukan para obligor. Hal itu diungkapkan oleh Kabiro Hukum Depkeu, Hadiyanto, yang juga adalah anggota tim pelaksana Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham Akta Penyelesaian Utang (PKPS-APU) di gedung DPR, Kamis. "Tidak ada aturan itu kalau default atau tidak. Tapi kontrak reformulasi menyatakan hal-hal tertentu itu misalnya tidak diperlukan penetapan pengadilan itu dapat ditafsirkan sebagai kondisi default," kata Hadiyanto. Dia mengatakan selama ini ada persoalan selama ini adalah adanya perbedaan persepsi antara pemerintah dan obligor tentang pola penyelesaian apakah harus 100 persen cash dan near cash (surat berharga) seperti dalam APU atau 30 persen cash dan 70 persen aset seperti dalam APU Reformulasi. "Asumsi pemerintah, debitur obligor sudah default sehingga kembali ke APU asal. APU asal tidak bicara penyelesaian aset, sedangkan yang bicara adalah APU Reformulasi. Karena asumsi mereka tidak default tentu obligor berpendapat lain," katanya. Dia menjelaskan obligor BLBI beranggapan mereka sudah melakukan upaya pembayaran surat menyurat dengan TP BPPN. "Oleh karena itu tidak tepat menurut debitur kalau mereka dinyatakan default," jelasnya. Tim Pelaksana sendiri, katanya, akan mengkonsultasikan hal itu dengan DPR, Namun, sayangnya dia tidak mau menegaskan apakah DPR bisa memberikan keputusan yang mengikat para obligor tersebut. Sebelumnya seluruh obligor BLBI yang menyelesaikan kewajibannya melalui mekanisme PKPS APU, kecuali Marimutu Sinivasan, telah menandatangani pernyataan kesanggupan, namun sebagian besar menggunakan pendekatan aset dan cash sebagaimana dalam APU Reformulasi. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006