Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Departemen Luar Negeri (Deplu) dan perwakilan di luar negeri belum maksimal menjalankan kewajibannya dalam memberi perlindungan kepada WNI. "Masih ada kesan pada masyarakt Indonesia di luar negeri para pejabat di perwakilan adalah raja yang harus disembah dan dilayani. Bahkan masih ada kesan bila berhubungan dengan perwakilan RI dan para diplomatnya justru membuat masalah baru," kata Guru Besar dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwono, Kamis. Kendati demikian, ketika berbicara pada seminar mengenai telaah UU No.37/1999 di Gedung Deplu di Jakarta, Hikmahanto menambahkan bahwa beberapa tahun terakhir ini memang terlihat banyak perubahan. Terhadap WNI yang diculik dan beberapa dituduh melakukan terorisme, pemerintah Indonesia telah memberikan perlindungan. Pemerintah juga berhasil melakukan lobi agar terjadi penurunan hukuman terhadap para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang dijatuhi hukuman mati di Arab Saudi. "Kalaupun ada yang perlu mendapat catatan secara umum adalah masih ada kesan perlindungan bersifat diskriminatif. Ada dua faktor yang menyebabkan diskriminatif, pertama bila disorot media massa dan kedua tergantung status sosial dari WNI yang menghadapi masalah," katanya. Banyaknya WNI bermasalah di malaysia ataupun Arab Saudi, kata dia, belum mendapat perhatian, bahkan pembuatan perjanjian "Transfer of Sentenced Persons" (TSP) didahulukan dengan Perancis dan Australia daripada pemerintah berinisiatif untuk mengadakannya dengan Malaysia dan Arab Saudi. "Ini mengingat di dua negara terakhir banyak sekali WNI yang dijatuhi hukuman yang ingin menjalani masa hukuman di Indonesia," katanya. Di samping itu, kata dia, perlindungan bagi WNI tidak dapat dilakukan secara efektif karena posisi tawar Pemerintah Indonesia, justru bila negara besar dan maju yang menghendaki perlindungan bagi warganya, Indonesia tidak berkutik. Hikmahanto juga menyoroti penunjukan beberapa pejabat perwakilan RI di luar negeri yang dilakukan atas dasar berbagai alasan kecuali menempatkan "the right man on the right place" (orang yang tepat di tempat yang tepat). "Misalnya saja penunjukan dilakukan pada mantan pejabat tinggi sekedar untuk memperpanjang nafas jabatan bagi seseorang, sebagai tanda terima kasih atau bahkan untuk memperkecil sindrom pasca kekuasaan," katanya. Padahal, menurut dia, aspek penting yang perlu diingat adalah apa yang dapat dieksploitasi dari negara yang dituju, termasuk peluang ekonominya sehingga calon kepala perwakilan harus dapat memiliki kreativitas untuk memanfaatkan. Sementara itu Menteri Luar Negeri (Menlu) Hassan Wirajuda ketika diminta pendapatnya mengenai perlindungan yang diberikan Deplu pada para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang memiliki masalah di luar negeri mengatakan bahwa Deplu selalu mengupayakan perlindungan semaksimal mungkin. "Kalau kita tidak hati-hati dalam perlindungan WNI, akuntabilitas ke dalam juga tidak bagus. Deplu selama ini seakan menerima limbah permasalahan dari proses di dalam negeri yang tidak tertangani dengan baik," katanya. Menurut Menlu, ribuan TKI dikirim ke luar negeri setiap tahunnya namun perwakilan RI di luar negeri tidak memiliki data secara detil karena tidak dilibatkan dari awal. "Menurut saya memang proses untuk TKI itu hendaknya dilakukan oleh badan tersendiri seperti di Philipina, mulai dari pendataan, pembuatan paspor, penempatan dan lain-lain," katanya.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006