Jakarta (ANTARA News) - Indonesia Police Watch (IPW) mengecam aksi kekerasan polisi terhadap jurnalis dalam aksi demo menolak kenaikan harga BBM, akibat tindakan tersebut dua wartawan terkena tembakan polisi, satu di Jambi dan satu lagi di Ternate.

"Tindakan represif kepada jurnalis adalah tindakan biadab yang menunjukkan bahwa Polri bukan sebagai aparat negara, melainkan sebagai aparat penguasa," kata Ketua Presidium IPW, Neta S Pane di Jakarta, Senin.

Polisi sesungguhnya sangat mengetahui bahwa wartawan dilindungi Undang-Undang dalam dalam menjalankan tugasnya. Untuk itu, Polda Jambi dan Polda Maluku Utara harus bertanggung jawab dalam kasus ini, katanya.

"Dan segera menangkap pelaku penembakan karena tindakan tersebut melanggar UU Pers nomor 40/1999 pasal 4 tentang Kebebasan Pers," kata Neta.

IPW mengimbau agar seluruh organisasi pers untuk melawan siapapun yang melakukan kekerasan dan menghalangi tugas jurnalis. IPW mendesak Kapolri segera mencopot para kapolda yang membiarkan anggotanya melakukan tindakan represif terhadap wartawan, seperti di Jambi dan Ternate, katanya.


Kampung Halaman SBY

IPW mendata, aksi demo Senin siang terjadi di 45 kota, ibukota propinsi dan tingkat dua. Bahkan demo penolakan kenaikan harga BBM terjadi juga di Pacitan, kampung halaman SBY. Demonstran di Pacitan sempat bentrok dengan polisi. Sebagian besar aksi demo Senin siang diwarnai bentrokan, yang paling berdarah terjadi di Ternate.

Aksi demo Senin siang yang diwarnai bentrokan mengakibatkan 52 mahasiswa luka-luka dan empat polisi luka. Selain itu ada 15 mahasiswa ditangkap dengan tuduhan sebagai provokator, katanya.

"IPW mendesak agar polisi segera membebaskan para mahasiswa tersebut, sebab apa yang mereka perjuangan adalah untuk kepentingan rakyat kecil dan juga kepentingan polisi, yang akan kesulitan jika harga BBM dinaikkan mengingat gajinya sangat kecil. Polri harus ingat bahwa mereka adalah alat negara dan bukan alat kekuasaan," kata Neta. (*)

Pewarta: Susylo Asmalyah
Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2013