Yogyakarta (ANTARA News) - Iklan politik di Indonesia secara ide kreatif sampai eksekusi lebih jelek dibandingkan dengan iklan komersial, meskipun biayanya luar biasa, kata dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Fajar Junaedi.

"Komunikasi iklan politik melalui media televisi kian populer, tetapi kebanyakan iklan tersebut dalam tataran kreativitas hingga eksekusi masih jauh dari kata baik," katanya pada peluncuran buku karyanya berjudul "Komunikasi Politik: Teori, Aplikasi, dan Strategi di Indonesia", di Yogyakarta, Rabu.

Oleh karena itu, menurut dia, para aktor politik dan industri komunikasi harus bisa mendesain pesan komunikasi politik yang lebih kreatif. Relasi media dan aktor politik di Indonesia saat ini bersikap abu-abu dibandingkan dengan masa Orde Lama pascarevolusi kemerdekaan.

"Pada masa itu media jelas memposisikan diri sebagai `underbow` partai politik (parpol) tertentu sehingga tajuk rencana media akan jelas memihak parpol induknya," katanya.

Ia mengatakan, saat ini media abu abu, media tidak memposisikan diri sebagai "underbow" parpol atau politikus tertentu tetapi isinya memihak ke parpol atau politikus tertentu. Jadi, sikapnya abu-abu, tidak ada garis demarkasi yang jelas.

Selain itu, aturan di Indonesia memungkinkan celah terjadinya monopolisasi media oleh aktor politik tertentu. Hal itu berbeda dengan Amerika Serikat (AS), "crossownership" dilarang.

"Di Indonesia hal itu masih terjadi karena ada satu orang memiliki beberapa media nasional dari berbagai lini," katanya.

Menurut dia, buku itu ingin menawarkan solusi kepada aktor politik dan industri komunikasi bagaimana membuat iklan politik yang baik. Iklan politik saat ini masih jauh dari kata bagus dan cenderung kaku.

"Bagi pembaca aktor politik akan saya tunjukkan bagaimana cara membuat iklan politik yang bagus, sedangkan untuk industri komunikasi buku itu bisa menjadi rujukan bagaimana mereka mendesain pesan komunikasi dalam komunikasi politik yang kreatif," katanya.

Pewarta: Bambang Sutopo Hadi
Editor: Tasrief Tarmizi
COPYRIGHT © ANTARA 2013