"Bapak, ibu, mohon antre.  Satu-satu pak, buk, sabar..., " demikian seruan petugas keamanan dalam (PKD) di Stasiun Gondangdia, Jakarta Pusat, Selasa pagi, kepada ratusan penumpang KRL yang berjajar membentuk antrean sepanjang lebih dari lima meter di pintu keluar.

Satu per satu mereka melewati empat gate yang tersedia, dengan terlebih dahulu memasukkan tiket elektronik sekali jalan ke slot di setiap gate, atau menyentuhkan tiket berlangganan mereka ke bagian sensor hingga lampu tanda hijau bersinar.

Beberapa diantara mereka terlihat sabar menunggu giliran, namun ada juga yang tampak gusar dan mengeluhkan antrean yang panjang.

"Woi...cepetan...woi! Macet ini!," ujar salah seorang penumpang yang mengantre di barisan paling belakang sambil memperhatikan jam tangannya yang menunjukkan pukul 07.15 WIB.

Petugas keamanan pun segera bereaksi, dengan menggunakan megaphone ia meminta agar penumpang bersabar. 

"Satu-satu pak, buk, sabar. Yang pakai tiket sekali jalan dimasukkan ke slot, yang pakai tiket multi trip di tap ke mesin," kata petugas.

Antrean panjang di pintu masuk dan keluar stasiun terjadi pada jam-jam sibuk sejak tiket elektronik untuk KRL relasi Jakarta, Bogor,  Depok, Tangerang, dan Bekasi, digunakan mulai 1 Juli 2013.  

Butuh waktu kurang lebih tiga detik sejak tiket dimasukkan ke dalam slot atau disentuhkan ke bagian sensor hingga lampu tanda hijau menyala dan gate terbuka. Jika semua lancar maka antrean keluar 30 penumpang akan selesai dalam waktu kurang lebih dua menit.

Namun estimasi waktu ini tidak berlaku apabila ada penumpang yang salah "memperlakukan" tiketnya, misalnya dengan menyentuhkan kartu sekali jalan ke bagian sensor yang seharusnya untuk tiket berlangganan, atau sebaliknya sehingga gate tidak terbuka.

Antrean tidak hanya terjadi saat penumpang hendak keluar dari stasiun, tetapi juga saat penumpang membeli tiket dan melewati gate terutama pada jam-jam masuk serta pulang kerja.  Kondisi ini pun mengundang kritik dan keluhan dari para pengguna KRL.

"Tiketnya jadi lebih murah, tapi antrenya itu. Jadi tersendat di pintu masuk dan keluarnya," kata Handayani, yang sehari-hari menggunakan moda transportasi KRL untuk pergi ke kantor di kawasan Jakarta Selatan.

Dila Stias, penumpang KRL dari Bogor berharap perubahan ini segera disikapi dengan perbaikan sistem dan layanan. "Mungkin setelah dua minggu maka sistem akan membaik dan kita jadi terbiasa," ujarnya.

Direktur Utama KJC Tri Handoyo berjanji akan terus melakukan perbaikan layanan KRL Jabodetabek.

Ia mengatakan penerapan e-ticketing sepenuhnya dilakukan untuk peningkatan pelayanan kepada pengguna jasa KRL yang akan diikuti dengan pengembangan layanan dari sisi sarana dan prasarana.


Budaya antre

Keluhan dan kritik dari pengguna KRL, menurut pengamat transportasi Djoko Setijowarno, adalah hal yang wajar.  

Djoko mengapresiasi penerapan tarif progresif dan pemberlakuan tiket elektronik. Namun ia juga tidak membantah bahwa memang masih ada hal-hal yang perlu terus disempurnakan untuk meningkatkan layanan KRL.

Untuk gate misalnya, ia berpendapat, jumlah gate sudah mencukupi dan ke depan perlu ada mesin khusus penjual tiket untuk mempermudah penumpang, serta penambahan gerbong.

"Gejolak awal ini normal, karena masyarakat masih kaget," katanya, di Jakarta, Selasa. 

"Orang kita kalau berjalan lambat langkahnya, tapi ketika keluar atau masuk, apa pun ingin cepat, tidak mau antre. Bangsa kita sudah lama tidak tahu budaya antre," kata Ketua Forum Perkeretaapian di Masyarakat Transportasi Indonesia itu.

Ia memandang sisi positif dari antrean panjang penumpang KRL di stasiun saat jam masuk atau pulang kerja karena akan mengubah budaya masyarakat yang tidak sabaran menjadi sabar dan tertib saat mengantre.

"Ini proses edukasi. Kalau ada hal yang kurang harus dievaluasi. Penumpang harus antre, itu tidak apa-apa, pelan-pelan nanti budaya itu akan terbentuk," katanya.

Mengubah budaya bertransportasi masyarakat memang bukan perkara mudah.  Maka tidak masalah jika petugas di stasiun harus berteriak-teriak untuk mengingatkan penumpang agar mengantre dengan tertib dan sabar, ujar Djoko.

"Kalau ada alat rusak, wajar, kan bukan malaikat jadi ya sabar lah. Kita harus belajar sabar, antre, dan mengatur waktu perjalanan," katanya.

Menurut dia, maju tidaknya peradaban suatu bangsa salah satunya terlihat dari budaya transportasi dan masyarakatnya.

"Bangsa dengan peradaban yang baik, dilihat dari transportasinya. Kalau transportasi awut-awutan maka birokrasinya pasti semrawut juga," ujarnya.

Ia pun mengutip Enrique Penalosa, mantan Wali Kota Bogota, Kolombia, yang mengatakan, "Sebuah negara yang maju bukanlah tempat di mana warga miskin punya mobil, melainkan ketika warga kaya menggunakan kendaraan umum."

Meski demikian, butuh waktu untuk membangun sistem transportasi di Indonesia.  Banyak hal yang harus dibenahi untuk bisa menjadikan transportasi publik sebagai andalan masyarakat.

Ia berharap, "kemajuan" layanan KRL Jabodetabek ini diikuti dengan perbaikan layanan transportasi yang lain seperti bus dan minibus yang sudah saatnya untuk direvitalisasi.

"Saat ini kita sedang berproses," demikian Djoko Setijowarno.

Oleh H017
Editor: Maryati
COPYRIGHT © ANTARA 2013