Saya telah menghabiskan beberapa hari terakhir ini untuk menyusuri jalan dan menyaksikan para demonstran Mesir yang sebagian kaum muda menggelar unjuk rasa. Saya jatuh terpesona namun keterpesonaan ini segera berubah menjadi kekecewaan.

Saya mengagumi cara mereka menolak menjalarnya otoriterisme dari pemerintahan Ikhwanul Muslimin yang tidak kompeten yang prestasinya hanyalah mendudukkan anggota atau pendukungnya ke segala sudut kehidupan di Mesir. Namun kekecewaan saya lebih besar ketimbang keterpesonaan saya itu.  Tak ada hasil bagus yang didapat "revolusi kedua" Mesir ini seperti didengung-dengungkan oposisi.

Tentara akan kembali mengendalikan, dan mungkin, seperti yang mereka inginkan, mencengkeram kekuasaan sampai konstitusi sementara disepakati dan pemilihan umum baru digelar. Sementara Ikhawanul Muslimin yang menjadi kubu pemerintahan pimpinan Presiden Mohamed Moursi, akan enggan menerima hal itu. Akan halnya kubu oposisi mereka mungkin abstain karena tak ingin terlihat meraih "kemenangan" yang terlalu keras memojokkan Ikhawanul.

Kemungkinan-kemungkinan tersebut mungkin tidak terjadi ketika ada rancangan untuk menghadapi meluasnya konflik.

Bahkan jika semua berubah dari kondisional menjadi aktual, hasilnya tetaplah tak bagus. Kebencian, atau setidaknya ketidakpercayaan, antara Ikhwanul dan kelompok oposisi, telah meningkat sejak akhir pekan lalu, setelah korban berjatuhan yang kerap buah dari serangan terhadap kantor-kantor Ikhwanul.  Perasaan saling membenci itu kini tak tertahankan.

Di pihak Ikhwanul, ada keyakinan bahwa keinginan oposisi hanyalah merampok kemenangan pemilu berlegitimasi yang mereka raih setahun lalu. Sedangkan dari sisi oposisi, ada keyakinan kuat bahwa Ikhwanul berusaha mengubah negara dan masyarakat sehingga akar-akar dari mana oposisi berasal, yaitu Islam moderat, liberalisme, sosialisme, dan nasionalisme sekuler, tidak lagi berkesempatan atau bahkan berbagi kekuasaan.

Di jalanan belum lama pekan ini, saya bertemu dengan teman lama yang menghabiskan waktu bertahun-tahun mempelajari komunis dan pascakomunis. Al Stepan, ilmuwan politik dari Universitas Columbia, New York, adalah salah satu pakar terbesar demokratisasi, mengenai bagaimana negara-negara otoriter keluar dari predikat negara otoriter, dan apa yang terjadi pada mereka kemudian. Dia adalah juga pengelana besar yang hadir di Timur Tengah, dan Mesir, beberapa kali selama revolusi Arab (Arab Spring), dan sebelum itu.

Demokrasi itu, kata Stepan, berbatas. Demokrasi mungkin menjadi tujuan, namun tujuan itu bukan seperti target dalam olah raga. Artinya, sekali mencetak skor, bukan berarti menang. Demokrasi adalah proses. Bahkan negara berdemokrasi paling maju sekalipun tetap berjuang keras untuk mempertahankan masyarakat madani, kemerdekaan dan kekuatan pusat-pusat kekuasaan, serta ketahanan konstitusi. Yang tak kalah penting adalah bahwa hal-hal seperti toleransi, keterampilan politik, dan kemampuan berkompromi juga berperan besar.

Agar transisi demokrasi berhasil, kata dia, maka tergantung kepada jejaring kesepakatan diam-diam atau terbuka antara kekuatan-kekuatan yang saling berseberangan. Ambil contoh Chile seteleh plebisit 1988 yang melemparkan Jenderal Augusto Pinochet keluar dari kekuasaan atau Brazil yang pada era 70-an dan 80-an sukses mengendurkan cengkeraman kekuasaan militer atau lebih dekat lagi ke Mesir, yaitu Tunisia, di mana masyarakat relijius menoleransi negara dan sebaliknya negara menoleransi masyarakat relijius setelah pendongkelan Presiden Zine El Abidine Ben Ali pada 2011.

Pada semua kasus itu, rakyat yang saling tidak menyukai dan tidak mempercayai sadar bahwa mereka lebih tidak menyukai dan tidak mempercayai penguasa otoriter, lalu mereka bersama melancarkan revolusi untuk kemudian meretas satu jalan ke mana mereka bersama menggapai demokrasi. Itu tak terjadi di Mesir.

Seperti disebutkan Stepan, kendati menjunjung martabat masing-masing, semua pemain kunci perpolitikan Mesir --Ikhwanul Muslimin, militer dan oposisi-- berupaya melindungi masa depan mereka masing-masing dengan memberi batas-batas kepada hak lembaga-lembaga demokrasi dalam membuat kebijakan publik.

Militer, yang menyandarkan kekuasaannya kepada kekuatan bersenjata dan dominasinya terhadap seperempat kekuatan ekonomi bangsa, selalu menuntut posisi istimewa, berupa otonomi dari pemerintah dan yudikatif.  Ikhawanul Muslimin selalu mencari tempat khusus bagi Islam dan pengembangan syariah.
Oposisi yang sebenarnya terdiri dari para demokrat sejati namun berbeda besar dalam menawarkan resep untuk masa depan bangsa, mencari kesepakatan lagi dengan militer untuk menekan Ikhwanul Muslimin. Semua orang ingin berlindung, laksana para pangeran abad pertengahan berlindung di dalam istana mereka.

Pelajaran Stepan adalah bahwa tidak akan ada itikad baik bagiu masa depan demokrasi jika tak ada atau terlalu sedikit kerja untuk membangun fondasi demokrasi. Militer terlalu nyaman dengan asumsinya sendiri mengenai kekuasaan dengan ingin mengesankan mereka mendengar rakyat (populis) kepada kekuatan-kekuatan politik. Ikhwanul yang bertahun-tahun lalu menjadi organisasi klandestin dan dipersenjatai keyakinan bahwa masyarakat mesti terislamisasi, bukan terdemokratisasi, tak begitu tertarik mengembangkan dialog demokratis dengan kalangan yang mereka anggap musuh. Sedangkan kelompok oposisi melihat pengalaman di tahun lalu sebagai justifikasi sempurna untuk menyingkirkan Ikhwanul Muslimin dari kekuasaan, kendati Ikhwanul masih memiliki tiga tahun lagi mandat kekuasaan.

Jadi, apapun perjanjian yang disepakati dalam beberapa hari ke depan maka itu akan dibatasi oleh ketiadaan pemahaman bahwa semua orang mesti membangun jalan hidup bersama, setidaknya demi masyarakat sipil. Dan masyarakat sipil tak tercipta di jalanan. Ini adalah produk masyarakat yang berusaha tetap berada dalam perdamaian, dan mengenai kekuatan yang dibentuk hukum dan aturan. Mesir tak memiliki produk seperti ini. Yang ada adalah harapan mengembangkan itu, secepatnya.

John Lloyd adalah pendiri dan Direktur Jurnalisme pada Reuters Institute for the Study of Journalism pada Universitas Oxford, Inggris. Lloyd telah menulis sejumlah buku termasuk "What the Media Are Doing to Our Politics" (2004).


Oleh John Lloyd
Editor: Jafar M Sidik
COPYRIGHT © ANTARA 2013