Pangandaran (ANTARA News) - "Bisa enggak Pidi ceritakan pengalamannya waktu itu kepada Oom Presiden," kata Presiden Susilo B Yudhoyono di Ruang VIP Pangkalan Udara Utama Halim Perdanakusuma, Jakarta, kepada dua bocah Swedia-Indonesia, Pidi dan Per-Martin, yang sempat hilang saat tsunami melanda Pantai Pangandaran. Yudhoyono, yang membahasakan dirinya sebagai "Oom Presiden" itu bersama Ibu Negara, Kristiani, menyempatkan bersua dengan kedua bocah berusia delapan dan enam tahun itu, sebelum bertolak ke Pangandaran, Ciamis, dan Cilacap, pada Jumat pagi, karena mengetahui kisah "penemuan" kembali mereka yang dramatis. Dengan ditemani ayahnya, Peter Damirau (lelaki berkewarganegaraan Swedia berusia 44), mereka tanpa canggung sedikitpun bertemu dengan orang nomor satu di Indonesia itu. Dengan keluguan khas anak-anak, bahkan Pidi langsung menduduki kursi Yudhoyono begitu acara bersalaman selesai dilakukan, sementara pemilik sah kursi itu tidak melihat peristiwa itu. Tidak pelak, kejadian itu mengundang tawa hadirin, termasuk puluhan wartawan yang sejak Kamis malam telah diberitahu Juru Bicara Presiden Bidang Luar Negeri, Dino P. Djalal. Dari pihak Damirau, dia ditemani beberapa staf Kedutaan Besar Swedia di Jakarta. Selesai berbincang sebentar, Presiden menyapa anak-anak itu, dengan nada lembut layaknya ayah kepada anak-anaknya. Kebetulan, Presiden keenam Indonesia itu memiliki dua anak yang semuanya lelaki dengan jarak usia juga dua tahun. Sementara Ibu Kristiani, wajahnya berbinar-binar menyimak pembicaraan suami dan tamu-tamunya itu. Sesekali dia tersenyum dan menimpali pembicaraan, sementara di ujung pertemuan, peluk-ciumnya mendarat lembut di tubuh kedua bocah itu. "Salam ya buat mama dan keluarga kalian di sana...," katanya. Damirau yang beristerikan perempuan asli Pangandaran bernama Eti (25) dan telah dinikahinya sejak 10 tahun lalu itu datang dengan busana kasual. Wajah lelaki yang tubuhnya tinggi-besar itu masih berwarna kemerahan dan gurat-gurat kelelahan sangat mudah ditemui; namun dia berusaha sekuat mungkin untuk tetap mengumbar senyum. Dia pantas tersenyum lega, karena cukup jarang keluarga yang tercerai-berai setelah mengalami bencana seperti itu bisa utuh kembali. Kedua anaknya bisa ditemukan lagi bahkan tanpa goresan luka sedikit pun di badannya. Tak pernah membayangkan Peter yang sehari-harinya sutradara film rumah produksi I-Work di Stockholm menuturkan, dia tidak pernah memiliki pikiran bahwa gelombang tsunami akhirnya benar-benar menyapu dia dan kedua anaknya. Saat kejadian itu, mereka bertiga sedang bersenda-gurau di tepi pantai dengan ban dalam mobil sebagai permainan anak-anaknya. "Tiba-tiba memang tanah ini bergetar. Saya bahkan masih sempat berkata kepada teman saya bahwa sepertinya ada tsunami. Dari jauh, gelombang yang datang sekitar sepuluh menit kemudian itu memang tidak terlihat sama sekali; karena Pangandaran sudah terkenal dengan gelombang laut cukup besarnya," katanya. Damirau tidak sempat bertindak apa-apa, kecuali mencoba menahan gelombang tsunami setinggi sekitar lima meter yang betul-betul menyapu tubuhnya. Saat itu, katanya, tidak ada pikiran apa yang terjadi sebenarnya, kecuali mencari-cari anak-anaknya yang bertubuh gempal itu. Peristiwanya terjadi cukup cepat sebelum dia mendapati dirinya terdampar di luar lokasi Hotel Duta Loka, tempat mereka menginap. Di sekitar dirinya, semuanya sudah berantakan, dan banyak orang terkapar begitu saja di atas tanah atau pasir. "Mungkin mereka pingsan atau sudah meninggal. Tapi yang penting, di mana Pidi dan Per-Martin?," katanya. Sejak saat itulah, dia sadar bahwa anak-anaknya tipis kemungkinannya bisa ditemukan kembali. Tapi dia tidak putus asa, karena dia tahu kota Pangandaran itu kecil dan di situ pulalah dia 10 tahun lalu berkenalan dengan Eti, berpacaran, dan kemudian menikahi perempuan itu. Selama tiga hari, semua pelosok Pangandaran dijelajahi begitupun semua orang yang dia anggap bisa memberikan informasi tentang anak-anaknya yang perawakan wajah, tubuh, dan logat bicara bahasa Indonesianya lebih mewarisi darah ibunya. "Saya tanya semua orang. Semua orang di semua tempat sampai akhirnya ada yang memberitahukan bahwa mereka ada di rumah neneknya, di rumah mertua saya. Saya memang tidak terpikir sampai ke sana karena saya tahu di Aceh ada yang hanyut sampai ke Pulau Sabang dari Banda Aceh," katanya. Ditemukan nenek Bagaimana kisahnya dari sudut anak-anak itu? Pidi yang lebih lancar berbahasa Indonesia sekalipun sejak lahir telah merasakan iklim budaya Swedia, berkisah, "Gelombangnya tinggi sekali. Saya takut, tapi tidak takut sekali, karena saya terus berpegangan dengan Per. Sampai akhirnya kami ada di suatu pohon." Masih sama-sama di tepi pantai, tapi sekarang kondisinya sangat berbeda. Gelombang laut yang semula sangat nikmat untuk digauli, berubah menjadi menyeramkan dan menenggelamkan apa saja, dan kedua anak itu termasuk yang ditelannya. Dari pohon itulah, katanya, dia akhirnya ditemukan neneknya, Ipah, yang lalu membawa mereka ke satu bukit di mana mereka selama berhari-hari bermalam. Makan dan minum seadanya, karena banyak warung yang tidak buka atau tidak ada bahan makanan yang cukup. Digulung-gulung gelombang laut yang tingginya tidak terperikan menurut ukuran anak TK itu, dia sempat minum air laut hingga batuk-batuk. Tapi akhirnya, mereka bisa "mendarat" di tempat yang lebih tinggi dan beruntung bersua dengan sanak-saudaranya. "Sekarang kita mau pulang. Ketemu mama. Tapi saya mau kembali lagi ke Indonesia. Tapi tidak ke Pangandaran. Liburan di sini asyik," katanya dengan kalimat berbahasa Indonesia yang pendek-pendek. Dalam satu atau dua hari lagi mereka sekeluarga akan terbang kembali ke Stockholm, salah satu kota utama di Eropa Utara yang --justru -- banyak dikelilingi sungai dan "fjoord" (teluk-teluk kecil). Ketika ditanya sekali lagi oleh wartawan apakah dirinya betul-betul mau kembali lagi ke Indonesia, dengan cengar-cengir kanak-kanak, jawabannya tetap serupa, "Ya, kami mau kembali lagi ke Indonesia. Di sini asyik." (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006