Jakarta (ANTARA News) - Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait mengatakan negara adalah pelaku kekerasan anak terbanyak. "Sekitar 60 persen dari total kekerasan pada anak dilakukan negara, baik oleh aparatur dan institusi negara, pendidikan dan pelayanan kesehatan," katanya disela-sela Kongres Anak Indonesia (KAI) ke-6 di Depok, Jabar, Sabtu. Dia mengatakan kasus kekerasan yang dilakukan negara berupa penelantaraan anak yang menyebabkan mereka terkena busung lapar, gizi buruk atau polio. Ujian nasional termasuk kekerasan, kata dia, karena menentukan kecerdasan anak hanya berdasarkan tiga pelajaran, yaitu matematika, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. "Kalau saya tidak mahir di bahasa Inggris, apakah itu berarti saya langsung dikatakan bodoh, kan tidak benar juga," katanya. Menurut dia, jumlah kekerasan pada anak jika dilihat per kasus memang sebagian besar dilakukan dalam rumah tangga, namun bila dilihat dari lokus deliktik atau berdasarkan lokasi kejadian, negaralah pelaku kekerasan terbanyak pada anak. "Kalau yang terlihat memang kekerasan domestik yang paling banyak, tapi sesungguhnya masih negara yang paling banyak melakukan kekerasan pada anak," katanya. Jika ada pemerintah daerah yang membiarkan angka kekerasan pada anak di daerahnya meningkat, kata dia, daerah itu bisa dikenakan sanksi `by omission` karena mengabaikan tingginya kasus kekerasan. "Mereka bisa terkena sanksi administratif bahkan sanksi pidana," ujarnya. Menurut dia, lemahnya penegakkan UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak juga merupakan bentuk kekerasan negara pada anak. Dalam siaran pers yang dikeluarkan Komnas PA pada KAI ke-6, hingga bulan Juni 2006, sedikitnya telah ditemukan 112 kasus penelantaran anak. Sementara itu, lebih dari 4000 anak menjadi pelaku kejahatan dan menjalani proses persidangan di pengadilan. Kasus kejahatan yang mereka lakukan lebih banyak pada kasus pencurian, narkoba dan pemerkosaan.(*)

Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2006