Sana`a (ANTARA News) - Eskalasi di Lebanon akibat agresi Israel yang memporak-porandakan ibu kota Beirut dan bagian selatan negeri itu sejak sekitar dua pekan lalu, sebagai reaksi "berlebihan" atas aksi Hizbullah menyandera dua orang tentaranya, tidak akan meluas menjadi perang regional. Laporan sejumlah media massa Arab dan internasional di samping dugaan sejumlah pengamat tentang kemungkinan ledakan hebat regional akibat eskalasi tersebut, tidak lebih sekedar "peringatan" bagi kedua pihak (Israel-Hizbullah) untuk segera menghentikan operasi militer dan menjalankan opsi diplomasi. Bila opsi diplomasi ini gagal pun, puncak eskalasi tersebut diperkirakan sebatas agresi darat Israel di sekitar wilayah selatan Lebanon yang menjadi pusat pertahanan dan basis massa pendukung terbesar Hizbullah. Agresi tersebut telah dimulai sejak tiga hari lalu dan tentara Israel mendapat perlawanan sengit Hizbullah yang tak terduga sebelumnya. Ada dua kemungkinan skenario yang akan terjadi dengan agresi darat tersebut. Pertama, Hizbullah mengalami kekalahan sehingga bargaining position (posisi tawar) negeri zionis itu semakin tinggi, bahkan dapat mencapai keinginan Barat untuk melaksanakan resolusi PBB nomor 1559 yang antara lain berisi pelucutan senjata Hizbullah. Skenario kedua adalah, agresi itu akan berlangsung lama sehingga menimbulkan kerugian besar di pihak tentara Israel baik personil maupun peralatan perang. Dalam hal ini, posisi tawar kedua belah pihak sama-sama kuat dan akhirnya akan menerima tawaran penyelesaian diplomasi menimbulkan akibat ``terburuk`` bagi Barat adalah penundaan pelaksanaan resolusi PBB menyangkut pelucutan senjata Hizbullah. Kemungkinan kedua itu merupakan harapan hampir semua publik Arab menyusul sikap dunia Arab yang telah mengenyampingkan opsi militer menghadapi negara Yahudi itu sejak perdamaian Camp David antara Mesir dan Israel tahun 1978 disusul persetujuan Oslo tahun 1993 dan perdamaian Israel-Yordania tahun 1994. Keberadaan Hizbullah tetap bernilai strategis selama sejumlah isu Arab masih dalam posisi pending (menggantung) seperti kemerdekaan Palestina, pendudukan tanah Suriah di dataran tingi Golan dan wilayah Mazare Shabaa di Lebanon Selatan. Mempertahankan eksistensi Hizbullah merupakan cara minimal untuk mempertahankan balance of fear (perimbangan ketakutan) mengingat gerakan perlawanan Arab itu paling disegani oleh Tel Aviv. Dua kemungkinan itu merupakan akibat logis dari eskalasi saat ini karena agresi Israel 1982 yang jauh lebih dahsyat juga berakhir dengan kemungkinan yang kedua. Puncaknya terjadi pada Mei 2000 saat pasukan negeri Yahudi itu mundur dari wilayah Lebanon Selatan yang didudukinya karena gagal ``mematikan`` perlawanan Hizbullah. Penuh Perhitungan Sementara negara-negara regional (sebut Iran dan Suriah) yang diperkirakan akan ``terjun`` bila perang terbuka meluas, dipastikan tidak akan melakukan aksi gegabah. Kedua negara yang dicurigai Barat sebagai pemberi lampu hijau kepada Hizbullah untuk menyerang dan menyandera tentara Israel tentunya penuh perhitungan. Pemain pertama, Iran misalnya yang disebut-sebut sebagai pemetik keuntungan dari eskalasi tersebut karena isu nuklirnya, sangat menyadari bahaya yang akan dihadapi sekutu utamanya (Suriah dan Hizbullah) berupa tekanan militer Israel dan tekanan politis Barat melalui meja DK PBB. "Karena itu, di balik pernyataan keras Presiden Iran, Ahmadi Nejad, diplomasi luar negeri Iran diwarnai kebijakan pendekatan pragmatis logis karena sadar akan perimbangan kekuatan yang tidak menguntungkan dan perhitungan kepentingan," kata Sayid Walad Abah dalam artikelnya di harian terkemuka Arab, Al-Sahrqul Awsat (23/7). Menurut salah seorang analis dan kolumnis Arab itu, Teheran tidak berkepentingan eskalasi tersebut meluas menjadi perang regional karena tidak ingin merugikan kepentingannya di Irak. Sementara di lain pihak, pemain kedua (Suriah), meskipun disebut-sebut ikut memetik keuntungan dari eskalasi Israel-Hizbullah untuk mengembalikan peran poros di Lebanon setelah keluar dari negeri itu lewat bantuan resolusi PBB menyusul tewasnya mantan PM Lebanon, Rafiq Hariri pada 14 Februari 2005, Damaskus tetap sadar akan bahaya perluasan perang. Di balik ancaman untuk ikut terjun dalam perang terbuka bila Israel mengganggunya, Damaskus menyadari bahwa perang terbuka regional tidak mampu dibebankan di tingkat nasional dan tingkat Arab. Sementara pemain ketiga (Israel) yang telah keluar dari kerangka membalas serangan Hizbullah akibat penyanderaan dua tentaranya, tidak ingin terjerumus lagi dalam rawa-rawa Lebanon seperti tahun 1982. Tel Aviv juga sadar akan bahaya yang mengancam dari keunggulan kekuatannya melawan para pejuang Arab. Aksi mati syahid sudah mulai menghantui warga negeri Yahudi itu bila gerakan perlawanan terdesak. Dengan perhitungan dari masing-masing ``pemain`` tersebut, maka hampir dipastikan bahwa eskalasi Lebanon tidak akan meluas menjadi perang regional. "Karena itu tidak ada jalan lain setelah eskalasi tersebut kecuali upaya diplomatik karena yang terjadi di Lebanon adalah war by proxy (perang lewat perantara)," papar Adil Darwish, analis Arab yang mukim di London. Yang dimaksud Darwish dengan war by proxy adalah Israel dimanfaatkan Barat terutama AS untuk mempercepat pelaksanaan resolusi PBB 1559, dan Hizbullah dimanfaatkan Iran-Suriah untuk kepentingan tertentu. Resolusi 1559 itu oleh banyak kalangan Arab dicurigai sebagai rekayasa Israel untuk menghentikan perlawanan Arab sehingga dengan leluasa dapat mendekte kehendak politisnya terhadap dunia Arab tanpa khawatir akan perlawanan para pejuang Arab. Terancam Gagal Dengan tidak meluasnya eskalasi tersebut, tinggal AS yang akan ``memetik`` dampak masa depan aksi brutal ``anak emasnya`` di Lebanon. Karena demokratisasi Timur Tengah (Timteng) yang dicanangkan dapat tersendat bahkan terancam gagal total. Dukungan mutlak negeri adidaya itu terhadap kebrutalan Israel tanpa upaya serius untuk menghentikannya semakin menambah kesan di mata Arab baik di tingkat resmi maupun publik, bahwa demokratisasi yang dijanjikan tak lebih sekedar ``penjajahan baru`` untuk kepentingan sekutunya (Israel). Karena belum kering darah warga sipil Irak akibat pendudukannya, darah warga sipil Lebanon kembali tumpah tanpa harga. "Program demokratisasi Timteng terancam gagal setelah Washington memberi Israel lampu hijau untuk memukul hasil demokrasi Palestina kemudian aksi brutal di Lebanon," kata sejumlah analis Arab. Sejak pendudukan Irak, publik Arab telah mendesak para pemimpinnya untuk menolak demokratisasi Timteng yang dicanangkan Washington menyusul pembantaian puluhan ribu warga sipil negeri Babilonia itu. "Dugaan bahwa kendala demokratisasi berasal dari Iran bukan berasal dari (akibat pendudukan) di Irak adalah kesalahan fatal strategi AS di kawasan," kata Adil Darwish dalam artikelnya di harian Al-Sharqul Awsat, Saudi (23/7). Terlepas dari perhitungan strategis itu, yang paling rugi dari konflik kepentingan tersebut adalah rakyat sipil dan perekonomian Lebanon yang selalu menjadi sasaran pelampiasan selama ini. Maka logis bila para pemimpin negeri itu, berusaha keras sejak kematian Hariri untuk membebaskan diri sebagai korban setiap konflik kepentingan.(*)

Oleh Oleh Musthafa Luthfi
Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006