Jakarta (ANTARA News) - Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi harus memenuhi delik formil, membuat pemberantasan korupsi kembali menggunakan aturan seperti yang berlaku dalam UU No 24 Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. "Menurut saya, ini kembali ke UU No 24 Prp Tahun 1960, sebelum adanya UU No 3 Tahun 1971, yaitu untuk buktikan seseorang melakukan tindak pidana korupsi harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa dia melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan UU," kata Wakil Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean usai persidangan di Gedung MK, Jakarta, Selasa. Ia menambahkan dengan putusan MK itu, terjadi perubahan dalam penerapan pasal 2 ayat 1 UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selama ini, lanjut Tumpak, KPK menerapkan pengertian melawan hukum selain secara formil juga melawan hukum secara materil. "Untuk ke depan, akan kita hormati putusan MK. Yaitu, melawan hukum hanya bisa diartikan dengan melawan hukum secara formil, artinya bertentangan dengan suatu ketentuan tertulis," ujarnya. Tumpak mengatakan, KPK tidak lagi bisa menerapkan bahwa perbuatan melawan hukum itu hanya bertentangan dengan asas kepatutan dan asas keadilan seperti melukai rasa keadilan di masyarakat. "Jelasnya, kita harus bisa buktikan seorang pelaku korupsi telah lakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang sudah ada secara tertulis, seperti bertentangan dengan Inpres atau Keppres. Kita tidak bisa lagi buktikan dengan perbuatan melawan asas kepatutan, keadilan atau sebagainya," kata Tumpak. Namun, ia mengatakan, tidak bisa mengatakan putusan MK tersebut sebagai langkah mundur dalam upaya pemberantasan korupsi atau telah mempersulit kerja KPK. "Saya tidak bisa katakan ini lebih maju atau mudur, atau apakah ini biasa-biasa saja, tapi kami sebagai pelaksana tentunya akan menerapkan ketentuan ini," ujarnya. Ia menambahkan putusan MK itu tidak akan mengurangi perangkat peraturan pemberantasan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime), hanya KPK harus mencari perbuatan tindak pidana korupsi yang benar-benar bertentangan dengan aturan hukum yang ada. "Pembuktiannya saja yang lebih sulit, dikatakan sulit memang harus begitu, karena tidak hanya sekedar dengan asas-asas kepatutan," ujarnya. Dalam putusannya terhadap uji materiil pasal 2 ayat 1, pasal 3 beserta penjelasannya, dan pasal 15 UU Pemberantasan tindak pidana korups yang diajukan oleh Dawud Djatmiko, MK menyatakan penjelasan pasal 2 ayat 1 UU tersebut sepanjang frasa "secara melawan hukum" bertentangan dengan pasal 28D ayat 1 UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Akibat putusan MK itu, maka penjelasan pasal 2 ayat 1 UU Pemberantasan Tipikor sepanjang frasa "Yang dimaksud dengan `secara melawan hukum` dalam pasal ini mencakup perbuatan-perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian, perbuatan melawan hukum dalam tipikor hanya dapat diartikan sebagai melawan hukum secara formil karena bertentangan dengan suatu aturan perundang-undangan tertulis.(*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2006