Jakarta (ANTARA News) - Kuasa hukum Amrozy dan Ali Gufron, dari Tim Pengacara Muslim (TPM), mempertanyakan sikap Kejaksaan Agung yang telah menentukan waktu eksekusi kedua terpidana mati kasus bom Bali I itu pada 22 Agustus 2006, padahal mereka telah mengajukan permohonan pemindahan tempat sidang Peninjauan Kembali (PK). "Kita sudah minta terlebih dahulu untuk pemindahan tempat sidang PK demi menjaga perasaan masyarakat Bali. Permohonan itu sudah kami ajukan satu pekan yang lalu dan sampai sekarang belum ada jawaban," kata Koordinator TPM, Mahendra Datta, saat dihubungi ANTARA News, di Jakarta, Selasa. Ia menyatakan cukup terkejut dengan sikap kejaksaan yang seakan membatasi waktu bagi Amrozy dan Ali Gufron untuk mengajukan PK, dan seakan bernafsu sekali ingin mengeksekusi kedua terpidana mati tersebut. Mahendra mengatakan permohonan untuk memindahkan tempat sidang PK dari Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Bali, semata untuk menjaga perasaan masyarakat Bali. Apalagi, lanjut dia, saat ini Bali sedang melaksanakan program "recovery" setelah terjadinya peledakan bom kedua pada Oktober 2005. Beberapa hari setelah meledaknya bom Bali II pada Oktober 2005 ribuan orang mengepung Lembaga Pemasyarakatan (LP) Krobokan, tempat Amrozy dan Ali Gufron ditahan. Setelah keduanya dipindahkan ke LP Batu, Nusakambangan, masyarakat Bali kembali mengepung LP Krobokan meminta agar keduanya dikembalikan lagi ke LP tersebut dan agar eksekusi terhadap keduanya disegerakan. "TPM sudah lama menahan diri untuk tidak melakukan tindakan hukum apa pun atas nama Amrozy dan Ali Gufron yang mungkin akan memancing emosi masyarakat. Karena itu kami balik bertanya, ada motif apa di balik semua ini," ujarnya. Mahendra membandingkan penentuan waktu eksekusi bagi Amrozy dan Ali Gufron, yang relatif cepat dibanding tiga terpidana mati kasus kerusuhan Poso pada 2000, Fabianus Tibo, Dominggus Da Silva dan Marinus Riwu, yang telah mengajukan PK sampai dua kali ke Mahkamah Agung dan yang terakhir telah ditolak MA pada 9 Mei 2006. Sampai saat ini, kejaksaan belum menentukan waktu yang pasti kapan ketiganya akan dieksekusi. "Ini membuat kami bertanya-tanya, ada apa di balik semuanya," ujar Mahendra. Ia mengatakan masih tetap akan menunggu jawaban perihal permohonan tempat sidang PK dari PN Denpasar. Pihaknya, lanjut Mahendra, tidak akan mengajukan permohonan PK sebelum permohonan pemindahan tempat sidang itu dijawab oleh MA melalui PN Denpasar, meski apabila jawaban itu belum ada sampai 22 Agustus 2006. Menurut dia, MA sudah sering melakukan pemindahan tempat sidang dengan alasan keamanan, seperti kasus kerusuhan Poso dan Papua yang disidangkan di PN Jakarta Pusat. Pihak kuasa hukum pun, lanjut Mahendra, tidak akan mengajukan permohonan penangguhan pelaksanaan eksekusi bagi Amnrozy dan Ali Gufron. "Dalam hukum, tidak dikenal istilah permohonan penangguhan eksekusi. Ini bukan hanya masalah menyelamatkan Amrozy, tetapi pelurusan hukum yang diterapkan kepada Amrozy," ujarnya. Yang diajukan sebagai bukti baru (novum) dalam permohonan PK Amrozy dan Ali Gufron, menurut Mahendra, adalah perihal UU No 15 Tahun 2003 tentang terorisme yang digunakan untuk mengadili Amrozy dan Ali Gufron. Padahal, Mahendra mengatakan UU tersebut belum terbentuk saat kejadian bom Bali I pada Oktober 2002 dan Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan UU No 15 Tahun 2003 tidak bisa berlaku surut (retroaktif). Kasipidum Kejari Lamongan Nugroho Priyo Susetyo yang mewakili Kejari Denpasar telah menyurati keluarga Amrozy dan Ali Gufron dan kuasa hukumnya tentang rencana eksekusi terhadap keduanya yang akan dilaksanakan pada 22 Agustus 2006, dengan catatan pihak keluarga tidak mengajukan peninjauan kembali (PK). Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung I Wayan Pasek Suartha juga telah menyatakanb pihaknya memang merencanakan pelaksanaan eksekusi mati bagi para terpidana mati kasus Bom Bali I, untuk dilaksanakan pada 22 Agustus 2006.(*)

Editor: Heru Purwanto
COPYRIGHT © ANTARA 2006