Jakarta (ANTARA News) - Majelis hakim sidang perkara simulator uji klinik pengemudi roda dua dan empat Korpslantas Polri serta tindak pencucian uang meragukan keterangan terdakwa Irjen Pol Djoko Susilo.

"Jadi logikanya untuk apa Legimo memalsukan tanda tangan Anda padahal ada tanda tangan asli saudara? Memang KPPN (Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara) Abu Nawas sehingga pengajuan proyek baru Februari tapi sudah cair pada Maret?," tanya ketua majelis hakim Suhartoyo dalam sidang di pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis.

Menghadapi pertanyaan tersebut, Djoko hanya diam.

Pemalsuan yang dimaksudkan oleh Suhartoyo adalah pemalsuan tanda tangan Djoko yang dituduhkan kepada Bendahara Korlantas Kompol Legimo untuk Surat Perintah Membayar (SPM), Surat Perintah Membayar Langsung (SPM-LS), resume kontrak yang berisi nama perusahaan pemenang tender, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan nomor rekening, serta pajak.

Pada sidang Selasa (23/7), saksi staf di direktorat urusan keuangan Korlantas Sadrah Syarifuddin mengatakan tanda tangan Djoko dan Wakakorlantas saat itu Brigjen Didik Purnomo untuk berkas R2 dipalsukan dan selanjutnya diantar ke KPPN agar bisa dicairkan senilai Rp48,76 miliar pada 16 Maret 2011 padahal pekerjaan belum selesai sepenuhnya.

Djoko mengaku tidak sempat mengecek semua berkas yang ada di mejanya.

"Berkasnya tebal ada berita acara, SPM, SPM-LS dan lainnya jadi saya tidak tahu kalau pada Maret sudah dicairkan, ini kelemaham kami karena tidak meneliti secara jelas," ungkap Djoko.

Jenderal bintang dua yang menjabat sebagai Korlantas sejak Oktober 2010 hingga Maret 2012 tersebut mengaku baru tahu tanda tangannya dipalsukan Legimo setelah penyidikan di Bareskrim Polri.

"Kami dapat laporan dari PPK, Pak Didik dan tim Irwasum Polri dan Porpam bahwa ada yang menemukan pemalsuan yang dilakukan Legimo, jadi Bareskrim memproses," jelas Djoko.

Tapi Djoko tidak mampu menjawab bagaimana perkembangan kasus pemalsuan tersebut di Bareskrim.

"Berkas di meja saya bisa 3-4 hari karena harus diteliti, jadi tidak mungkin langsung tanda tangan," ungkap Djoko.

Jawaban tersebut mendorong hakim menunjukkan ketidakkonsistenan pernyataan DJoko.

"Jadi berkas harus diteliti dulu? Ini tidak `matching` dengan keterangan Bapak karena di awal Saudara mengatakan tidak memeriksa karena berkasnya banyak, tidak konsisten saudara," kata Suhartoyo

Suhartoyo juga mempertanyakan pegawai bank BNI yang langsung mengurus perpanjangan SIM di kantor Djoko.

"Mengapa perpanjang SIM harus ke bapak? Kantor bapak bukan tempat perpanjangan SIM? Kami saja berpikir terlalu tinggi kalau langsung ke Kakorlantas, apa ada kepentingan yang ditumpangi di sana?," tanya Suhartoyo.

Djoko pun hanya terdiam dan sejenak kemudian menjelaskan bahwa pegawai bank itu adalah tamu VIP dan diantar sekretaris pribadi.

Dalam surat dakwaan direktur utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi (CMMA) Budi Susanto mengajukan Kredit Modal Kerja (KMK) sebesar Rp101 miliar ke Bank BNI di Sentra Kredit Menengah (SKM) Jakarta Gunung Sahari dengan menjaminkan Surat Perintah Kerja (SPK) Pengadaan Driving Simulator Uji Klinik Pengemudi R-2 padahal SPK itu belum ada.

Djoko juga membantah memberikan arahan untuk menunjukkan PT CMMA sebagai pemenang lelang dan mencairkan anggaran simulator untuk Budi Susanto.

"Tidak benar ada arahan, tidak benar hasil akhir tender sesuai permintaan saya, tidak ada pertemuan dengan Budi untuk pelelangan," kata Djoko dalam sidang dengan suara pelan.

Djoko menjelaskan bahwa ia hanya memberikan arahan secara umum kepada panitia.

"Saya hanya menjelaskan tentang pengadaan harus dilakukan dengan profesional dan ada prioritas pengadaan," jelas Djoko.

Dalam perkara ini, Djoko diancam pidana berdasarkan pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU RI No 20 tahun 2001 tentang perubahan ataas UU No 31 tahun 1999 Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 65 ayat (1) KUHP.

Ancaman pidana atas perbuatan tersebut adalah pidana penjara 4-20 tahun dan pidana denda Rp200 juta hingga Rp1 miliar.

Djoko juga dikenakan pasal tindak pidana pencucian uang berdasarkan asal 3 Undang-Undang RI Nomor Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Ancaman pelanggar pasal tersebut adalah maksimal 20 tahun dan denda Rp10 miliar.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Suryanto
COPYRIGHT © ANTARA 2013