Yogyakarta (ANTARA News) - Pemerintah sampai sekarang dalam mengambil kebijakan masih belum mempertimbangkan faktor gender, termasuk kebijakan dalam penanganan bencana gempa bumi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah. "Contoh paling sederhana adalah kebutuhan air bersih. Perempuan membutuhkan lebih banyak air bersih dibanding laki-laki, karena perempuan mengalami masa menstruasi," kata Wineng Endah W dari LSM perempuan `Rifka Annisa`, di Yogyakarta, Minggu. Masalah sederhana itupun, kata dia, masih belum terfikir oleh para pengambil kebijakan di negara ini untuk menjadi bahan pertimbangan, sehingga tidak menghasilkan keputusan yang sensitif gender. Kenyataannya sekarang bantuan air bersih untuk lelaki dan perempuan disamaratakan. "Pemerintah tampaknya masih tutup mata terhadap kebutuhan masyarakat," ujar dia. Namun, menurut Wineng, dalam penanganan korban gempa bumi di DIY-Jateng masih lebih baik dibanding penanganan korban tsunami di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) dua tahun lalu. Kata dia, memang tidak semua harus dikhususkan bagi perempuan, tetapi setidaknya harus memperhatikan kepentingan perempuan agar tidak menjadi bulan-bulanan di lingkungannya sendiri. "Perempuan seharusnya memiliki tempat yang nyaman dan aman untuk tinggal," sambungnya. Sensitifitas terhadap perempuan, semestinya juga dimiliki oleh masyarakat, baik sesama maupun bukan korban gempa. Seperti terlihat di sebuah barak pengungsian di Yogyakarta, ada bagian dari barak itu khusus untuk wanita. "Namun sayangnya terkadang kaum laki-laki yang sedang bertugas ronda sering masuk dan menyaksikan sesuatu yang semestinya tidak boleh dilihat," katanya. Menurut dia, semua pihak harus merubah perilaku yang tidak sensitif, dengan menyadari kesalahan cara pandang selama ini, untuk kemudian merubah sikapnya. "Masyarakat kita masih menganggap seorang istri bertugas untuk mengabdi kepada suami, sehingga dalam segala hal istrilah yang harus mengalah. Itu salah," tandas dia. (*)

COPYRIGHT © ANTARA 2006