Jakarta (ANTARA News) - Kehadiran Tesaurus Bahasa Indonesia (TBI) hasil kerja tekun dan cemerlang Eko Endarmoko enam tahun silam memperkaya khazanah linguistik di Tanah Air.

Kamus sinonim ini punya manfaat praktis yang luar biasa. Bagi pelajar, kamus ini membantu menjawab pertanyaan dalam pelajaran bahasa Indonesia saat menggingung soal padanan kata. Bagi penulis, TBI merupakan alat paling cepat untuk melakukan variasi ekspresi dalam tulisan.

Setelah kamus sinonim hadir, rasanya kamus etimologi atau sejarah asal usul sebuah kata perlu juga dihadirkan oleh para linguis di Tanah Air. Selama ini berbagai tulisan tentang sejarah sebuah kata sudah bertebaran di media tapi belum terkompilasi sebagai sebuah buku.

Menghasilkan kamus etimologi tentu lebih memerlukan kerja kolektif dibandingkan menyusun kamus jenis lain. Artinya, riset yang ekstensif dan dana yang lebih besar diperlukan untuk menghasilkan kamus etimologi. Karena problem yang tak ringan inilah sampai saat ini kita belum memiliki kamus etimologi dalam bahasa Indonesia.

Langkah untuk menuju terlahirnya kamus etimologi dalam bahasa Indonesia bisa dilakukan lewat kebijakan pemerintah atau perguruan tinggi. Kita tahu bahwa di Indonesia ada sejumlah perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, yang mempunyai program studi linguistik.

Pemerintah atau pengambil kebijakan di perguruan tinggi dapat menetapkan satu arah penelitian bagi para periset dan mahasiswa untuk menghasilkan karya-karya tulis ilmiah yang berorientasi pada pengembangan etimologi dalam bahasa Indonesia.

Etimologi sebagai sebuah kajian ilmiah, setidaknya untuk kondisi di satu program studi pendidikan bahasa di sebuah perguruan tinggi di Indonesia, terasa asing. Salah satu contoh: di lingkungan Fakultas Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta pada program studi magister pendidikan bahasa, etimologi tak masuk dalam kurikulum. Ini beda dengan semantika dan sintaksis. Kedua cabang ilmu kebahasaan ini dibahas secara tuntas dan mendalam. Tapi etimologi tak mendapat perhatian.

Dengan kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memasukkan etimologi dalam kurikulum pendidikan bahasa, lahan bagi lahirnya kamus etimologi mulai dibuka. Ditambah lagi dengan kebijakan perguruan tinggi yang mendorong mahasiswa menghasilkan karya ilmiah yang berorientasi pada pengembangan sejarah kata, lahan itu mulai disemai.

Untuk mahasiswa program strata satu mungkin bisa diwajibkan membuat karya tulis tentang sejarah 10 sampai 50 kata bahasa Indonesia. Untuk program magister bisa diperbanyak jumlah katanya, misalnya dari 50 kata sampai 100 kata. Untuk tingkat doktoral, jumlah katanya bisa diperbanyak lagi. Ini kalau mengikuti pendekatan kuantitatif.

Pendekatan kualitatif juga perlu dimungkinkan. Artinya, seorang calon sarjana, magister atau doktor dimungkinkan menulis tentang sejarah atau asal-usul sebuah kata atau frasa atau pepatah dalam bahasa Indonesia. Lewat penelitian tentu para mahasiswa calon sarjana bisa menulis tentang asal-usul atau sejarah lahirnya frasa "debat kusir", atau "janda kembang".

Peribahasa Indonesia juga merupakan ladang yang kurang tersentuh oleh tangan-tangan peneliti. Kita bisa meneliti kenapa dulu leluhur kita sampai menciptakan pepatah "pungguk merindukan bulan". Dari satu pepatah saja, akan muncul pertanyaan: kapan pepatah itu diucapkan pertama kali? Jika pertanyaan ini tak terjawab, pertanyaannya dipermudah: kapan pepatah ini pertama kali muncul dalam bentuk tulisan? Atau, buku atau media cetak apa yang pertama kali menuliskan pepatah itu?

Jika mungkin dicari penciptanya, siapa pencipta atau pengucap pertama kali pepatah itu? Penyairkah? Lalu di mana pepatah itu diucapkan pertama kali? Di lingkungan masyarakat Minangkah? Tapanuli? Riau? Atau Aceh? Untuk pertanyaan terpenting dan terberat: mengapa "pungguk" dan bukan "serigala", "kelelawar" atau binatang malam lainnya yang merindukan  Juga kenapa "bulan" dan bukan "bintang-bintang" yang betebaran di malam hari? Periset juga bisa mengupas pergeseran orientasi masyarakat dalam pemakaian pepatah itu. Sejak kapan pepatah itu mulai menurun pemakaiannya?

Ribuan pepatah yang orisinal tercipta lewat masyarakat Indonesia dari Aceh hingga Papua tentu menjadi ladang penelitian yang tak akan pernah kering digali. Ibarat menggali tanah, semakin ke dalam semkin sulit dilakukan. Begitu juga meneliti, semakin merasuk ke sejarah masa silam, semakin sulit dilakukan.

Menentukan asal-usul sebuah kata perlu dilakukan secara ilmiah untuk landasan pertanggungjawaban ilmiahnya. Jangan sampai apa yang ditemui Tede Asmadi, pemerhati bahasa media massa, terulang kembali.

Dia pernah mempertanyakan lema "ketipung" yang oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diberi keterangan etimologis berasal dari Madura, Jawa Timur. Sampai saat ini, pertanyaan itu berlum terjawab oleh salah satu penyusun KBBI. Jadi belum ada pertanggungjawaban ilmiahnya. Ini sebetulnya masalah yang sangat serius. Kalau satu lema tidak bisa dipertanggungjawabkan asal-usulnya, bagaimana dengan ribuan lema lainnya? Jangan-jangan bukan hanya "ketipung" saja yang asal-usulnya tak bisa dijelaskan secara keilmuan. Semoga kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi penyusun KBBI (edisi revisi) di masa mendatang. (*)

Oleh M Sunyoto
Editor: Kunto Wibisono
COPYRIGHT © ANTARA 2013