Surabaya (ANTARA News) - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) melalui Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU 2006 di Surabaya, mengeluarkan maklumat untuk mempertahankan Pancasila, UUD 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena semuanya bagi NU sudah final. "Maklumat Nahdlatul Ulama" itu ditandatangani Rois Aam Syuriah PBNU KHM Sahal Mahfudh dan Ketua Umum PBNU KHA Hasyim Muzadi yang dibagikan kepada pers menjelang penutupan Munas dan Konbes NU yang dilakukan Menag HM Maftuh Basyuni di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, Minggu malam. "NU merasa perlu merakit kesatuan dan keutuhan, karena sejarah membuktikan bahwa bila Pancasila dipersoalkan atau diganti akan selalu menimbulkan perpecahan. Bagi kami, Pancasila, UUD 1945, dan NKRI itu merupakan upaya final umat Islam dan seluruh bangsa," ujar Hasyim Muzadi. Maklumat NU itu menyebutkan bahwa NU meneguhkan kembali komitmen kebangsaannya untuk mempertahankan dan mengembangkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah NKRI. Dalam Maklumat NU itu juga diberi latarbelakang tentang mulai terasa adanya upaya menarik Pancasila ke kiri dan ke kanan pada dewasa ini, yang apabila tidak diwaspadai oleh seluruh komponen bangsa akan membahayakan dan menggoyahkan eksistensi dan posisi Pancasila itu sendiri. Oleh karenanya, sistem otonomi daerah dan otonomi khusus sama sekali tidak boleh menjurus kepada dis-integrasi bangsa, apalagi pemisahan kewilayahan. Selain itu, perjuangan menegakkan agama dalam Negara Pancasila haruslah ditata dengan prinsip kearifan, tidak boleh menghadapkan agama terhadap negara atau sebaliknya. Tetapi dengan meletakkan agama sebagai sumber aspirasi serta menyumbangkan tata nilai agama yang kemudian diproses melalui prinsip demokrasi dan perlindungan terhadap seluruh kepentingan bangsa. Menurut Rois Syuriah PBNU KH Ma`ruf Amin, NU akan mengawal NKRI dari separatisme dan mengawal Pancasila dari upaya-upaya yang ingin membenturkan atau menjauhkan dengan Islam. "Karena itu, kalau sekarang dimana-mana orang membicarakan separatisme dan otonomi khusus yang mengarah pada kemerdekaan, maka hal itu harus dicegah," tegas ketua Komisi Fatwa MUI Pusat itu. Mengenai globalisasi, ia menegaskan bahwa Munas Alim Ulama dan Konbes NU di Surabaya dapat menerima globalisasi, universalisme, dan hak asasi manusia (HAM) secara selektif dan kritis. "Yang baik-baik dapat diterima, sedang yang jelek-jelek ditolak," ucapnya. Menyikapi liberalisasi seperti Jaringan Islam Liberal (JIL), ia mengatakan, hal itu akan diukur dengan Fikrah Nahdliyyah (Kerangka Berpikir ala NU). "Kalau terlalu liberal akan ditarik kembali ke Fikrah Nahdliyyah itu, tapi kalau terlalu konservatif ya perlu dinamisir," tegasnya.(*)

Editor: Bambang
COPYRIGHT © ANTARA 2006