Sana`a (ANTARA News) - Kenyataan di lapangan akhirnya memaksa Israel mengakui bahwa target politis yang diinginkannya tidak bisa ditempuh lewat kekuatan militer, menyusul kemampuan Hizbullah menghadapi pasukan negeri yang dianggap "super" tangguh itu. Para petinggi Israel juga akhirnya mengakui bahwa penarikan mundur pasukan negeri Yahudi itu dari daerah pegunungan strategis di Bint Jbeil dikarenakan kerugian besar akibat halauan hebat gerakan perlawanan Islam Hizbullah. Sebelumnya dilaporkan bahwa penarikan pasukan Israel dari daerah perbatasan itu sebagai taktik semata. Sementara pihak Hizbullah menegaskan bahwa penarikan tersebut disebabkan kerugian besar baik personil maupun peralatan perang akibat perlawanan sengit gerakan perlawanan Lebanon yang tidak diduga sebelumnya. Singkatnya, hingga memasuki minggu ketiga, tanda-tanda agresi militer tersebut memenuhi harapan Tel Aviv semakin pupus setelah sebelumnya menjanjikan kepada rakyat Israel bahwa serangan kilat tersebut akan berlangsung 10 jam atau paling lama tiga hari. "Keberhasilan" utama negeri zionis itu selama tiga pekan eskalasi itu tak lebih dari penghancuran infrastruktur, perumahan penduduk, pembantaian warga sipil terutama anak-anak dan kaum wanita tak berdaya. Dalam etika militer, tentunya hal tersebut bukanlah suatu keberhasilan, namun merukan bukti keputusasaan militer negeri zionis tersebut yang tidak mampu menghadapi sekadar gerakan perlawanan sekaliber Hizbullah. Kenyataan itu telah menumbuhkan opini luas di kalangan warga negeri Yahudi itu bahwa tentara Israel sudah tidak mampu lagi melindunginya dari sekadar gerakan perlawanan apalagi dari pasukan Arab secara keseluruhan. Dengan nada mengejek Sekjen Hizbullah, Sheikh Hassan Nasrallah mengatakan bahwa sukses Israel satu-satunya adalah menghancurkan Lebanon dan membantai warga sipil. "Kalau yang satu ini namanya keberhasilan orang tolol yang hanya mampu melawan warga tidak berdaya," paparnya dalam pidatonya yang disiarkan TV Al-Manar, Sabtu (29/7). "Kemenangan" Hizbullah itu, juga mulai menuai dukungan politis penting di dalam negeri terutama dari PM Fuad Siniora yang secara tegas mendukung Hizbullah menghadapi Israel. "Sangat keliru bila mereka (Israel) beranggapan bahwa Hizbullah terkucil sendirian. Hizbullah adalah Lebanon dan pemerintah bersama seluruh warga Lebanon mendukung perlawanan Hizbullah," katanya menegaskan dalam wawancara khusus dengan salah satu media AS dan dikutip New TV Lebanon, Sabtu (29/7). Karena itu, Menlu AS, Condolliza Rice, kembali diutus guna mengupayakan solusi diplomasi dan setibanya di Tel Aviv sebagai stasion pertama lawatan itu, ia mengisyaratkan tentang "konsesi menyakitkan" dari kedua belah pihak (Israel dan Hizbullah) untuk mengakhiri eskalasi tersebut. Bagi kalangan pakar strategis Arab, lawatan kedua dalam waktu kurang dari sepekan itu sudah jelas sebagai pertanda pengakuan Washington dan Tel Aviv bahwa Hizbullah tidak dapat dikalahkan secara militer. Khawatir Namun di lain pihak, sebagian elit politik Lebanon terutama pendukung Hizbullah mulai khawatir bila target negeri Yahudi itu yang gagal dicapai lewat kekuatan militer akan beralih dengan upaya diplomasi dengan menggunakan "cover" (payung) PBB. Karena tujuan utama "kasak-kusuk" Rice kali ini adalah untuk memasarkan ide pengiriman "pasukan multinasional" baik di bawah payung PBB maupun Organisasi Pakta Atlantik Utara (NATO). Pasukan di bawah payung NATO merupakan opsi yang diidamkan negeri Yahudi itu. Karenanya tidak mengherankan bila pasukan PBB di Lebanon termasuk target serangan brutal pesawat tempur Israel yang menewaskan empat pengamat PBB. Serangan atas perwakilan PBB itu terkesan disengaja, karena tidak lama setelah PM Israel, Ehoud Olmert menyampaikan permintaan maaf kepada Sekjen PBB atas apa yang disebutnya serangan "tidak disengaja", pesawat tempur negeri zionis itu kembali menyerang kawasan yang hanya beberapa meter dari kamp-kamp milik PBB. "Sebenarnya (serangan) itu sebagai pertanda bahwa Tel Aviv tidak senang dengan pasukan internasional di bawah payung PBB. Karenanya, serangan atas wakil PBB yang menewaskan empat orang disengaja," komentar sejumlah analis Arab. Bagi pemerintah dan warga Lebanon sendiri, kembali merasa dihantui pasukan internasional baik yang berada di bawah payung PBB maupun payung organisasi internasional lainnya, karena pengalaman pahit yang dirasakan selama ini. Sebagai contoh, pembantian yang dilakukan Israel pada masa pemerintahan PM Simon Perez pada 1996 di Lebanon Selatan justru terjadi di tempat penampungan PBB. Serangan udara Israel kala itu membantai ratusan penduduk sipil yang ditampung PBB. Kejadian yang sama juga terulang kembali saat serangan udara Israel di wilayah perbatasan sekitar dua pekan lalu, dimana puluhan warga sipil yang berusaha menghindar dari serangan tersebut menuju ke penampungan PBB tewas karena PBB menolak menampung mereka. Keruan saja, sejumlah pemimpin negeri itu menuding para pemantau PBB tersebut ikut andil melakukan pembantaian karena sama sekali menolak melindungi mereka dari serangan brutal pesawat tempur Israel. Berdasarkan pengalaman itu, selain para pemimpin Hizbullah tentunya, kebanyakan pemimpin Lebanon menolak pasukan multinasional di tempatkan di negeri yang pernah mendapat julukan Paris Van Asia itu. "Pasukan multinasional merupakan hantu bagi warga Lebanon, karena hanya bertujuan melindungi Israel dengan payung PBB," tegas Talal Arselan, Ketua Partai Demokrat Lebanon, Sabtu. Banyak kalangan pakar Arab setengah memastikan bahwa pasukan NATO yang banyak berperan nanti di Lebanon Selatan. "Dalih mereka sudah jelas yaitu melaksanakan resolusi PBB nomor 1559 yang tujuan utamanya melucuti senjata Hizbullah," kata Prof. Abdul Bari Athwan, pakar Arab. Damaskus sebagai sekutu utama Hizbullah secara tegas menolak pasukan dimaksud karena seperti pengalaman sebelumnya tak lebih bertugas untuk menduduki wilayah Lebanon dan melindungi Israel dari serangan balasan gerakan perlawanan. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, ibarat dua orang yang bertikai, pasukan multinasional memberi kebebasan kepada Israel untuk menampar dengan dalih mempertahankan diri, sementara tangan Hizbullah dibelenggu dengan keberadaan pasukan itu sehingga tidak mampu melindungi diri dari tamparan tersebut. "Pasukan multinasional seharusnya bukan di Lebanon tapi di Israel. Kami akan menolak sekuat tenaga penempatan pasukan tersebut di tanah Lebanon karena kami bukan negara agresor seharusnya ditepatkan di Israel yang agresor," kata pemimpin Spiritual Hizbullah. Kelihaian Hizbullah Penolakan itu memang sangat berdasar, selain pengalaman pengalaman pahit sebelumnya, pasukan multinasional kali ini memiliki misi laten yaitu menghancurkan perlawanan Hizbullah dengan payung resolusi 1559. Selain Hizbullah, yang akan mengalami kerugian strategis sangat besar adalah Damaskus karena gerakan perlawanan tersebut merupakan kartu strategis terpenting. Kehilangan kartu strategis menyebabkan Suriah menghadapi dua pilihan pahit alias masuk ke perangkan dilematis. Yang pertama, harus menerima persetujuan "damai" sesuai syarat AS-Israel seperti yang dilakukan negara-negara Arab lainnya, dan kedua rezim Damaskus ambruk secara perlahan lewat oposisi pro Barat yang didukung pasukan multinasional yang terkonsentrasi di Lebanon. Bila itu tercapai, ibarat melempar satu batu dua burung yang jatuh. Karena selain sukses melucuti dan menghancurkan Hizbullah, Washington dipastikan akan leluasa menerapkan rencananya untuk melaksanakan proyek baru Timur Tengah yang nantinya memberikan kekuasaan mutlak kepada Tel Aviv mengatur kawasan vital itu. Kedatangan "hantu" pasukan multinasional itu memang sudah diantisipasi oleh Hizbullah. "Yakinlah, kami tidak akan memberikan kemenangan politik kepada Israel sebagaimana yang tidak diperolehnya dari aksi militer," kata Sekjen Hizbullah, Hassan Nasrallah menenangkan warga Lebanon dan publik Arab umumnya. Menyangkut janji Nasrallah itu, kunci utamanya sebenarnya terletak pada kesatuan sikap para elit pimpinan Lebanon sendiri. Di sinilah dibutuhkan kelihaian Hizbullah melobi para pemimpin negeri itu. Krisis-krisis sebelumnya sejak agresi Israel 1982 menunjukkan bahwa gerakan perlawanan paling disegani Israel itu mampu sebagai penentu untuk menyelamatkan keutuhan persatuan dan kesatuan sikap para pemimpin Lebanon. Namun sejak kematian mantan PM Rafiq Hariri, Hizbullah mulai "digoyang" dari luar (Barat) dan dari dalam. Apakah Hizbullah masih lihai untuk mengatasi posisi sulit saat ini? Hari-hari mendatang yang akan memberikan jawaban pasti. (*)

Oleh Oleh Mustafa Luthfi, ANTARA
COPYRIGHT © ANTARA 2006