Jakarta (ANTARA News) - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terus memonitor perkembangan periferal indeks harga saham gabungan dan nilai tukar rupiah.

"Presiden menginstruksikan Menkeu berkoordinasi dengan BI, LPS dan OJK untuk membahas `policy-response` dan mitigasi dampak gejolak eksternal dalam Forum Stabilitas Sistem Keuangan," kata Firmanzah, Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan menyampaikan pernyataan Presiden Yudhoyono di Jakarta, Selasa.

Presiden menyampaikan hal itu terkait dengan dampak atas rencana pengurangan stimulus fiskal (quantitative easing) di Amerika Serikat yang berakibat pelemahan sejumlah mata uang regional, termasuk rupiah, dan pelemahan indeks harga saham regional, termasuk IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) di Indonesia.

Sementara itu anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Arif Budimanta menyatakan nilai tukar rupiah berpotensi terus bergerak liar, menyebabkan pelemahan nilai tukar rupiah atas dolar AS karena pasar (market) tidak melihat ada kebijakan yang sinergis dan komprehensif antara kebijakan fiskal dan moneter.

Dalam konteks ini, katanya, ke depan beban BI akan semakin menumpuk yang ditunjukkan oleh cadangan devisa yang semakin tergerus apabila pengendalian nilai tukar hanya diandalkan kepada BI semata.

Ia menegaskan defisit neraca perdagangan Indonesia yang melebar mencapai 4,4 persen terhadap GDP pada kuartal II (Q1 : 2,4 persen), adalah terbesar dalam sejarah.

Defisit perdagangan berlangsung karena fokus usaha pemerintah untuk supporting dengan fiskal terhadap industri bahan baku/hulu masih belum menarik, serta perlakuan terhadap eksportir belum memberikan gairah/untuk mengejar devisa ekspor.

"Pelemahan mata uang rupiah adalah yang terdalam dibandingkan mata uang lain dalam kawasan regional ASEAN," katanya.

Pelemahan itu, katanya, akan terus bergerak apabila tidak ada perbaikan, salah satunya prebaikan terhadap neraca perdagangan.

Pelemahan nilai komoditi dan ekspor, dan meningkatnya impor dari waktu ke waktu adalah data riil yang menggambarkan bahwa pemerintah gagal dalam menggenjot produktivitas nasional untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri.

Di sisi lain laju pertumbuhan ekonomi dari waktu kewaktu sampai saat ini selalu bertumbu kepada konsumsi, akibatnya, inflasi yang seharusnya musiman bisa menjadi permanen apabila tidak dikendalikan, sehingga bisa menjadi kenaikan biaya hidup.

"Untuk itu maka langkah-langkah fundamental dan struktural dapat dipertimbangkan untuk dilakukan," kata Arif Budimanta.

Rupiah, katanya, harus dikendalikan bukan dengan mengerem kredit karena bisa berdampak pada pertumbuhan, tetapi, harus bisa mengatur "cash flow" nasional dengan mengajak pelaku ekonomi duduk bersama.

"BI dapat mempertimbangkan melakukan relaksasi ketentuan-ketentuan terkait pendalaman pasar valas seperti pinjaman komersial luar negeri bank, hedging, dan sebagainyaa, dalam rangka menarik capital inflows," katanya.
(B009/N002)

Pewarta: Budi Setiawanto
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2013