Jakarta (ANTARA News) - Pelaksana tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan skema Bond Stabilization Framework (BSF) belum diaktifkan pemerintah untuk mengatasi gejolak ekonomi yang sedang terjadi.

"BSF belum diaktifkan, mekanisme sudah ada, tapi belum diaktifkan. Karena apa yang dilakukan Bank Indonesia sekarang dan pemerintah lakukan melalui pinjaman utang langsung, masih bisa menstabilkan pasar SUN," ujarnya di Jakarta, Selasa malam.

Bond Stabilization Framework merupakan salah satu dari mitigasi yang disiapkan pemerintah berupa kerangka kerja jangka pendek dan menengah untuk mengantisipasi dampak krisis di pasar Surat Berharga Negara (SBN) domestik.

Langkah jangka pendek dari penanganan terhadap datangnya krisis tersebut berupa pembelian SBN di pasar sekunder, sedangkan langkah jangka menengah dari skema ini adalah pembentukan "bond stabilization fund".

Bambang mengatakan Bank Indonesia masih aktif berperan dalam menstabilkan pasar Surat Utang Negara (SUN), sehingga kemungkinan terjadinya gejolak akibat pembalikan arus modal masih dapat teratasi.

"BI aktif dan itu sangat membantu SUN dalam kondisi stabil. Memang ada peningkatan `yield`, tapi tidak sampai membuat pemerintah kesulitan dalam `financing` (pembiayaan) APBN, kemampuan kita dalam pembiayaan masih terjaga" ujarnya.

Bambang menambahkan saat ini yang dapat dilakukan pemerintah adalah memberikan ketenangan dan kepastian kepada pelaku pasar keuangan serta memastikan defisit transaksi berjalan mulai mengecil pada triwulan III-2013.

"Betul sekarang terjadi penurunan, IHSG-nya bahkan lebih kecil dibanding akhir tahun lalu, tapi kita masih melihat penurunannya ini sebagai reaksi dari `deficit current account`. Artinya, mungkin ada reaksi investor asing yang agak `concern`, tapi yang paling penting investor dalam negeri, terutama investor institusi yang paling besar, tidak ikut-ikutan melakukan aksi jual saham," katanya.

Ia juga mengatakan pemerintah terus memantau dan melakukan komunikasi dengan pelaku pasar saham, terkait pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan anjloknya bursa saham yang juga diakibatkan karena faktor eksternal yaitu kemungkinan penghentian "Quantitative Easing" (pelonggaran kuantitatif).

"Kita akan terus memantau pasar sekaligus menstabilkan nilai tukar rupiah, menjaga `yield` surat utang tidak terlalu tinggi. Kalau untuk saham, kita harapkan ini sesuatu yang sifatnya temporer dan bisa `rebound` dalam waktu yang tidak terlalu lama," ujarnya.

Bambang menambahkan penghentian stimulus Quantitative Easing berarti perekonomian Amerika Serikat mulai membaik, namun seharusnya kondisi tersebut tidak membuat situasi perekonomian di negara berkembang menjadi bergejolak.

"Kita ingin ekonomi AS membaik, itu bisa membantu pemulihan global, mengurangi global `slow down`. Tapi kita tidak mau perbaikan AS ini `add cost` ke yang lain dalam hal ini emerging market, karena ini tidak pas, dengan satu `statement` semua jadi `nervous`," katanya.

Untuk itu, ia mengharapkan apabila Bank Sentral AS (The Fed) benar-benar menghentikan stimulus tersebut, prosesnya melalui klarifikasi yang jelas agar tidak menimbulkan ketidakpastian di pasar keuangan negara berkembang.

"Kita tidak mau itu prosesnya sampai menimbulkan ketidakpastian, prosesnya mendadak. Jadi ekonomi AS membaik, seharusnya positif buat kita. Tapi jangan sampai kita belum mendapatkan manfaat positif, sudah ditutup dengan (dampak) negatif dari proses penghentian Quantitative Easing," ujarnya.

(S034/A026)

Pewarta: Satyagraha
Editor: Tasrief Tarmizi
COPYRIGHT © ANTARA 2013