Pajak adalah sangat instumental bagi pembangunan nasional. Untuk itulah pendapatan dan penerimaan pajak harus terus dikelola secara hati-hati dan dialokasikan dengan tepat guna, tepat sasaran, demi kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa.

Mengingat sangat vitalnya pajak, maka sistem penerimaannya pun mesti dikawal ketat dan benar. Tidak boleh ada kebocoran dan kesenjangan penerimaan. Direktorat Jenderal Pajak sendiri, sebagai institusi yang berwenang mengumpulkan pajak, menerapkan strategi-strategi terukur untuk mengamankan penerimaan pajak, terutama untuk tahun 2013 yang sedang berjalan ini.

Namun Ahmad Erani Yustika, ekonom Universitas Brawijaya, Malang, memiliki poin kritis dalam kaitannya dengan strategi pengamanan penerimaan pajak tersebut.

Dia menilai Ditjen Pajak menghadapi masalah umum dalam perkara itu, yaitu under buying atau jauh lebih rendah dari yang seharusnya didapatkan. "Itu saya kira memang Ditjen Pajak harus mencari metode baru untuk memastikan pembayaran sudah sesuai dengan yang seharusnya," kata Ahmad.

Dia menduga kini rata-rata pembayaran pajak adalah 40 persen dari yang seharusnya. Andai angka ini dinaikkan menjadi 100 persen, maka penerimaan pajak pun bisa dua kali lipat. Dan ini jelas besar manfaatnya bagi negara.

Faktanya, kata dia, penerimaan pajak di Indonesia harus ditingkatkan karena ada kesenjangan besar antara potensi pajak dengan penerimaan. "Tax ratio kita rendah," kata dia. Namun pada saat bersamaan, dia melihat kekurangan ini dibarengi oleh sempitnya ruang gerak Ditjen Pajak untuk meningkatkan penerimaan pajak.

Di antara hal yang dia garis bawahi untuk meningkatkan dan mengamankan penerimaan pajak adalah upaya reformatif Ditjen Pajak, dengan mencipta sinergi lebih luas dan efektif, terutama dengan wajib pajak.

Ahmad menilai Ditjen Pajak harus terlebih dahulu menggarap dengan baik semua NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). "Yang memiliki NPWP, baik pribadi atau badan yang tidak melaporkan, harus didatangi, harus dicek," kata Ahmad.

Dia ingin metode menunggu, segera ditinggalkan Ditjen Pajak. Sebaliknya, seperti diamini banyak ekonom dan kalangan pemerhati pajak, Ditjen Pajak harus lebih dekat lagi kepada wajib pajak dengan proaktif kepada mereka. Setidaknya ini sebagai awal menumbuhkan kesalingpercayaan yang memang sangat penting dalam sistem pengelolaan pajak.

Di sisi lain Ditjen Pajak menghadapi sejumlah masalah. Salah satunya adalah kurangnya terobosan dalam memacu pengumpulan pajak. Menjemput bola kepada wajib pajak adalah tentu saja baik. tapi pada satu sisi, Ditjen Pajak menghadapi kesenjangan dalam hal cost collection (biaya SDM dan operasional untuk menagih pajak).

Dibandingkan dengan negara-negara lain yang memiliki cost-collection sampai 3 persen, Ditjen Pajak malah hanya menarik 0,5 persen untuk cost collection itu.

Ahmad setuju pada beberapa bagian dari upaya Ditjen Pajak meningkatkan cost collection, namun menurut dia yang paling mendesak dilakukan Ditjen Pajak saat ini adalah menambah pegawai. "Namun penambahan pegawai ini perlu dilakukan dengan kalkulasi yang matang dan harus berimplikasi pada penerimaan pajak secara porporsional," kata dia.

Upaya ini harus terus menerus ditingkatkan sampai mencapai rasio yang ideal dengan wajib pajak. Dalam konsensus internasional sendiri tidak perbandingan standard antara jumlah pegawai dengan wajib pajak. "Tapi di Indonesia ini, rasio pegawai dengan jumlah wajib pajak sangat rendah," jelas Ahmad.

Ditjen Pajak kerap mengutarakan masih kecilnya skala pajak dari PPh21, namun Ahmad mengajak untuk tidak melihat besar atau kecilnya penerimaan pajak, karena yang lebih penting adalah setiap warga negara yang sudah menjadi objek pajak harus dipastikan melunasi kewajibannya. "Itu yg mesti digarap Ditjen Pajak, baik untuk pajak pribadi, badan, maupun Pajak Bumi dan Bangunan," kata dia.

Memang, katanya, ada peraturan yang perlu direvisi, namun semangatnya tetap bahwa setiap warga negara yang sudah memenuhi ketentuan UU, harus membayar kewajiban pajaknya.

Dalam soal itu Ahmad meminta Ditjen Pajak untuk tidak berkompromi dengan mereka yang sudah menjadi wajib pajak, namun berusaha tidak menunaikannya atau mengakali Ditjen Pajak sehingga bisa membayarkan kewajiban mereka lebih rendah daripada yang seharusnya. Pihak yang paling sering melakukan hal ini adalah perusahaan-perusahaan. Ditjen Pajak sendiri menemukan indikasi banyak perusahaan hanya menyetor 80-95% PPh Pasal 21 dari yang seharusnya disetor mereka.

Namun sebelum melangkah lebih jauh, kata Ahmad, Ditjen Pajak mesti bekerjasama dengan perbankan dan lembaga audit agar akurasi pembayaran pajak benar-benar telah diperoleh lembaga pajak ini. Dia sepakat perusahaan-perusahaan yang tak membayar sesuai dengan jumlah yang mesti dibayarkan mereka, memang harus ditindak tegas. "Jangan sampai mereka (perusahaan) memiliki keuntungan yang besar tetapi kemudian membayar pajak jauh di bawah yang seharusnya," kata Ahmad.

Masih berkaitan dengan kepatuhan wajib pajak itu, efek jera pun memang mesti terus ditingkatkan, terutama dalam hubungannya dengan meningkatkan pendapatan pajak. "Ya jelas, penegakan hukum harus segera dilakukan. Kan semuanya sudah ada, UU-nya sudah ada. Jadi seluruh penalti dalam UU itu harus diberlakukan kepada siapa pun yang melakukan pelanggaran. Itu yang perlu ditegakkan oleh Ditjen Pajak," pungkas Ahmad.

Editor: Copywriter
COPYRIGHT © ANTARA 2013